|9. Arunika Dalam Bayang|

895 111 26
                                    

BAB KESEMBILAN

~

|Arunika Dalam Bayang|

~

"Ke dalam hidupku kuperbolehkan kau masuk, asal jangan lupa membawa pula ingatanku tentangmu pergi bersama dengan hilangnya dirimu."

●•●•●•●

Beberapa kertas tergeletak di atas lantai. Rancangannya untuk ajang bulan bahasa tidak ada satu pun di antaranya yang ia rasa layak. Ada yang kurang, ada sesuatu yang kurang dalam tulisannya. Tidak ada emosi di sana, terlalu datar. Biasanya, Valent hanya menulis berdasarkan pengalamannya, namun kali ini otaknya terasa buntu. Dia enggan menulis sebuah kenangan dalam cerpennya, rasanya seperti menelanjangi diri sendiri bahwa keluarganya adalah sebuah keluarga yang berakhir tragis. Alhasil ia merasa semuanya kurang. Luapan emosi yang bersarang di tubuhnya sangat amat ia takuti, menulis segala kisah ini seperti menulis sebuah kisah horor baginya. Perasaan ini makin membuat Valent sadar, bahwa ia sama sekali tidak pernah berdamai dengan masa lalu.

Mengusap wajahnya gusar, Valent meninggalkan pekerjaannya. Mengganti bajunya sebelum pergi meninggalkan rumah. Dia punya acara hari ini; makan malam di rumah Magenta.

Sudah pukul lima lewat, Valent tidak menemukan nenek di mana pun, tidak juga dengan Ayfa, hanya Higra--kakeknya--sedang duduk di beranda rumah sedang menyesap tehnya.

"Mau ke mana?" Suara Higra terdengar tegas meski telah dimakan umur membuat Valent menoleh sejenak, tetapi ia segera mengalihkan kembali. Seolah-olah kalimat pertanyaan itu hanyalah sebuah angin lewat, lalu ia menggeser pintu gerbang. Terkunci.

"Gerbangnya saya kunci. Kamu mau ke mana?"

Ia menghela napas kemudian membalikkan badan, meraih kunci gerbang yang tergeletak di samping cangkir teh. "Saya mau ke mana pun sebenarnya bukan urusan Anda," ujarnya saat tiba tepat di hadapan Higra.

Higra terlihat menahan amarahnya. Wajahnya yang keriput memerah, garis wajahnya yang keras bisa saja membuat Ayfa atau pun anak kecil lainnya menangis. Sama halnya dengan Valent kecil yang menangis melihat kakeknya marah, namun kali ini hal seperti itu bukanlah sesuatu yang patut ia tangisi. Keributan kecil seperti ini bahkan tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan segala hal yang telah ia lalui.

"Pergilah kemana pun kamu mau. Kamu tidak pulang pun, saya tidak peduli."

Valent menghela napas, membuka gerbang rumahnya. Pertanyaannya beberapa tahun silam muncul kembali. Bagaimana bisa seorang Hestina yang berhati lembut menikahi seorang Higra yang berhati keras? Sebuta itukah sesuatu yang bernama cinta?

Sesuai dengan alamat yang diberikan Magenta, rumahnya berada di komplek yang sama dengan Valent. Di ujung komplek dekat dengan hutan kota. Magenta tinggal di sebuah rumah minimalis yang sangat artistik, sekitar sepuluh meter terpisah dari rumah-rumah lainnya. Seharusnya rumahnya terlihat sepi jika melihat letaknya lumayan jauh dari permukiman lain. Namun, di depan gerbang hitam yang Valent yakini adalah rumah Magenta, ia justru melihat puluhan orang berkumpul di sana, memaksa untuk masuk.

Valent menghentikan langkahnya, mencoba mendengar percakapan di ujung jalan itu baik-baik.

Wanita setengah baya dengan kaus putih menarik perhatiannya. "Buka pintunya! Anak saya, kembalikan anak saya!" Wajahnya berlinang air mata. Wanita itu terus meraung-raung, menghujat seseorang yang bernama Javier seolah karena sebuah nama itulah seluruh hidupnya hancur, digantikan oleh tangis dan amarah.

AkustikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang