Kedelapan

5.7K 426 20
                                    

Aku memutuskan untuk mengabaikan Denny dan Beno. Mengabaikan Beno sih urusan gampang, tapi mengabaikan Denny? Perlu usaha ekstra keras dan juga kemauan yang sunguh-sungguh. Bayangkan saja, aku masih mencintai Denny, aku jujur untuk yang satu ini. Jadi, kadang-kadang saat pelajaran berlangsung aku masih sering curi-curi pandang mengamati wajahnya. Denny tidak mengusikku, dia sama sekali tidak menggangguku lagi. Tidak memohon maaf atau minta balikan. Sebenarnya ini yang membuat aku semakin nelangsa. Aku mau, Denny berkeras minta maaf, menjelaskan kejadian yang sebenarnya kemaren itu. Tapi sepertinya tidak. Dia hanya minta maaf, tapi tidak pernah menyinggung kejadian di mall dulu itu.

Sudah empat bulan berlalu, Beno juga tidak sesering dulu menggangguku. Dia dan Radit semakin dekat. Maksutku, mereka agak akrab sekarang. Tak terasa satu minggu lagi akan ada ujian akhir semester satu. Aku menarik nafas panjang.

"Hei, buruan ah! Lo ngalamun aja! Ntar telat nih!" Radit menyadarkanku yang tengah menikmati sarapannya mbok Parni.

"Iya, bentar lagi abis kok." Sahutku pelan. Mamanya Radit hanya tersenyum mengamatiku dan Radit yang memang suka bercanda kecil. Walaupun tadinya mamanya Radit menolak sewaktu aku akan membayar tiap bulan, tapi karena aku paksa, akhirnya mamanya Radit mau juga menerimanya. Tapi tentu saja, ngekos dirumahnya Radit ini surga dunia. Sarapan dan makan malam yang pasti enak. Gratis pula. Dengan uang kos yang sama dengan tempat kosku dulu. How lucky I am.

Karena diburu-buru Radit tadi, aku tidak menyadari sesuatu. Sesuatu itu baru aku sadari saat aku sudah masuk ke dalam kelas dan 5 menit lagi bell masuk berbunyi. Aku LUPA MEMBAWA BUKU PAKET PKn! Jangan kalian pikir ini masalah sepele, ini sangat serius. Sialnya, hari ini cuma kelasku yang ada pelajaran Kewarganegaraan. Aku panik, masalahnya Bu Eka, guru PKn, memang paling antipati dan paling ngamuk kalau ada murid yang tidak membawa buku paket pada jam pelajarannya. Sumber informasi ini sangat bisa dipercaya, yaitu dari anak-anak yang sudah pernah diamuk Bu Eka karena tidak membawa buku paket PKn dengan berbagai alasan.

Panik, panik dan panik. Masa iya mau minjem temen sekelas? Mana mau lah mereka! Sial nih! PKn memang bukan jam pelajaran pertama, tapi ketiga. Namun tetap saja, itu kan berlangsung sebelum jam istirahat pertama. Mana jam pertama Pak Asril lagi, mana mungkin aku minta ijin. Kalian masih ingat dengan Pak Asril kan? Gawat, gawat. Gawat banget. Aku benar-benar enggak bisa konsen mengikuti pelajaran Fisika. Walaupun begitu aku masih berpura-pura jadi siswa yang teladan. Ingat? Ini kan Pak Asril, aku tidak ingin jatuh di lubang yang sama dua kali. Pas jam ganti pelajaran, kepanikkanku memuncak.

"Kenapa? Lo nggak bawa buku paket PKn ya?" Beno yang duduk dibelakangku bertanya. Dengan sopan. Tapi karena aku sedang kacau, aku tidak begitu memperhatikan perubahan nada itu. Soalnya, biasanya kan tu anak kalau nggak pake nada menghina ya ngejek. Tumben-tumbenan sopan.

"Lupa!" jawabku cepat. Memang sih terdengar ketus dan agak kasar. Tapi masa bodo, Beno juga biasanya begitu kok.

"Sama aja. Tetep aja judulnya nggak bawa kan?"

Aku kesal! Aku sedang panik, dan Beno malah seakan-akan memancing di air keruh. Kalau tadi aku menjawab dengan acuh tak acuh dan pandangan ke depan. Sekarang aku menoleh dan langsung menatap Beno tajam.

"Trus kenapa? Masalah buat lu? Lu mau ikutan marahin gua juga? Boleh banget! Tapi nunggu giliran ya? Antri, Bu Eka duluan, baru elu."

"Nih!" aku bengong. Beno baru saja meletakkan atau lebih tepatnya melempar buku paket PKn nya ke mejaku.

"Lo pake aja, sekarang cariin gue buku paket apa aja. Yang penting bersampul. Pinjem siapa gitu kek!"

Aku terpana melihat apa yang dilakukan Beno. Tanpa sadar aku malah jadi keasyikan bengong.

Cintaku Dibagi Tiga (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang