prologue

754 65 56
                                    

ketika aku tersakiti kesekian kalinya oleh dia.

-LARISSA-

ⓒ 2016 Nnrlxs


•••

Kueratkan jaket yang terpasang di tubuh. Suhu malam hari terasa sangat menusuk kulit. Aku mendesah pelan, "Ah, capek malem-malem gini suruh olahraga."

"EH CEPETAN LARI, LARI!"

Teriakan itu membuatku mengumpat pelan. Kuikatkan tali sepatuku erat, lalu kembali berlari mengelilingi jalanan komplek. Jika saja aku tidak kalah taruhan, pasti sekarang aku sedang bersantai di depan rumah sambil meminum susu cokelat.

Tadi, sebelum aku melaksanakan hal ini, aku sedang menonton bola dengan sahabatku. Konyolnya, ia mengajak bertaruh siapa yang akan memenangkan pertandingan nanti, dan lebih konyolnya, mengapa aku menerima taruhan itu? Ini akibatnya, berlari tengah malam seperti orang gila.

"Lari!"

Mataku mendelik kesal, kuhampiri dia yang bersandar pada pilar di rumahku. "Aku Rissa!"

Dia tergelak. Matanya menyipit ketika tertawa seperti itu. "Lari kamu, Lari. Kan, perjanjiannya lima belas putaran."

"Gak kuat aku, Rak," ucapku sambil meneguk susu cokelat miliknya.

Tiba-tiba susu yang berada di genggamanku terlepas. Kutolehkan kepalaku ke arahnya. "Heh! Aku juga mau."

"Selesein dulu itu larinya, nanti aku buatin."

Kuhembuskan napas lelah. Kakiku melangkah menjauhinya, dan mulai lagi berlari. Lima belas putaran, bahkan aku masih berlari delapan putaran. Keringat membanjiri tubuhku. Kulepaskan jaket yang terpasang, tak peduli malam yang kian dingin.

"Ris, sini."

"Apa?" tanyaku saat aku sudah di hadapannya.

Dia menyodorkan segelas susu cokelat. Mataku berbinar menatapnya, segera kuhabiskan susu hangat itu. "Ah, lega." Aku meletakkan gelas kosong itu di samping tubuh.

"Ih, kamu kan udah besar, tapi minum susu aja masih belepotan," ucapnya kesal.

Detik selanjutnya, ia mendekatkan kepalanya ke arahku. Diusapnya pelan bibir atas milikku menggunakan tisu. Dengan jarak seperti ini, aku menatap wajahnya yang kian mendekat, tampan dengan rambut hitam legam yang kontras dengan malam.

"Udah belum, Rak?"

"Bentar." Wajah yang tadinya menunduk kini mendongak. Manik matanya terfokus tepat di mataku. Dengan cepat, kumundurkan wajahku yang memanas. Tak tahan lagi untuk menatapnya.

"Sok manis! Biasanya juga aku diketawain gara-gara belepotan," ucapku ketus, lalu disusul oleh tawa.

"Emang gak boleh aku bikin nge-fly sahabat sendiri?" Raka mengerling jahil, matanya berbinar jenaka.

"Bukannya gitu." Aku melirik Raka yang menaikkan satu alis, "nanti kalo pacar kamu cemburu gimana?"

Seketika matanya membulat, Raka menepuk kepalanya. "Aku lupa belum kabarin Indri!" serunya panik. Lalu, ia menerobos masuk ke dalam rumahku untuk mengambil ponsel.

Ia pergi, meninggalkanku dengan sejuta kepedihan hati karena mencintai seseorang yang telah memiliki kekasih.

•••

Cahaya matahari menerobos masuk melalui celah jendela. Jam weker di atas nakas berbunyi nyaring tanpa henti. Aku mendengus, menyembunyikan kepalaku di antara bantal-bantal yang ada. Suara tapak kaki yang kian mendekat membuatku mengerang kesal. Pasti Raka. Semalam, ia memilih menginap dari pada pulang ke rumahnya.

"Larissa! Bangun, hoy." Mendegar itu, kujambak rambutku kasar. Kesal rasanya jika ada gangguan ketika masih mengantuk.

"Pergi kamu, Rak!"

Ketukan pintu dan teriakan Raka berkali-kali masuk ke dalam telingaku. "RAKA! PULANG SANA!" Aku memang merasa kesal dengan Raka karena menganggu tidurku di hari Minggu, tapi, aku memiliki alasan lain untuk kesal dengan Raka.

"Sa, aku ada pizza, loh!"

Mataku membuka sempurna, aku berlari membuka pintu dengan semangat. "Mana pizza?" tanyaku langsung.

Raka menyeringai lebar. "Makanya mandi, abis itu pergi beli pizza."

Mendengar itu, kudorong tubuh Raka menjauh dari ambang pintu. Menutupnya keras pertanda aku kesal. Tubuhku meluruh di balik pintu, menunduk dalam menyembunyikan perih dalam jiwa.

Hatiku tak lagi utuh, tak lagi sempurna layaknya dahulu. Retak karena sakit hati yang tak pernah berlalu. Menyisahkan pedih yang tak terhapus oleh waktu.

Aku tau, tak seharusnya aku mencintai Raka. Tapi, hatiku jatuh terlalu dalam. Terlanjur mencinta dengan segala rasa yang ada.

Salah aku berharap? Berharap ia memiliki secuil rasa yang sama. Berharap suatu hari dia mencintaiku. Tapi aku tau, harapan tinggal harapan. Dan, nyatanya, yang kucintai sudah dimiliki.

Aku ingin berlari menjauh dari segalanya, melupakan segala lara yang menyesakkan dada.

Ini tentangku, tentang Larissa yang hanya berharap pada Raka dan juga Tama yang selalu ada.

•••

An//


Halohah :v

thanks to rakapratama indrindahsr

Larissa [6/6]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang