two

340 49 58
                                    

Deru mobil yang familiar terdengar dari kamar. Kututup buku yang tadi kupelajari dengan tekun karena akan ada ulangan esok hari. Kakiku melangkah menuruni tangga dengan cepat. Akhirnya, setelah berbulan-bulan aku tidak bertemu dengannya, kini aku dapat bertemu.

"PAPAH MAIL!" Aku meloncat memeluknya dengan erat. Sempat ia kehilangan keseimbangan karena seranganku yang terlalu tiba-tiba.

"Anjir, kamu tuh gak nyantai banget, sih."
Aku cemberut mendengar perkataannya. Dari dulu tabiatnya tidak berubah.

Matanya menelusuri setiap titik di rumah. Kemudian, ia berkata, "Mana Mama kamu?"

Aku mengangkat bahu. "Mama Femy, ya. Aku gak tau hehe."

"Gimana sekolah kamu di RWC, baik?"

Kuanggukkan kepalaku pelan. "Absurd, Pa. Tapi nyenengin. Hehe."

Papa terkekeh pelan. "Ya udah, lanjut belajar sana."

Sejenak aku terdiam, melihat wajahnya yang mirip dengan Tama. "Pa, wajah Papa kok mirip sama Tama, ya?"

"Pratama temen kamu itu?" Dia menaikkan satu alis.

Kuanggukkan kepala pelan.

"Ris, kamu masih suka sama si Raka?"

Mataku membulat, kaget dengan pertanyaan yang dilontarkan papa. "Pa-pa tau?"

Ia menyeringai. "He, mata-mata Papa di mana-mana."

Aku mendengus. Kemudian, beranjak meninggalkan papa yang sedang duduk di sofa dengan tenang. Sempat aku berpikir papah cenayang. Tapi segera kutepis pikiran itu.

Kembali aku menyibukkan diri dengan berbagai macam soal dari mata pelajaran yang sama. Bosan kurasa jika terus-menerus belajar. Sejenak aku melirik ponsel yang sedari tadi terus menyala tanpa henti. Sedari tadi kutahan hasrat ingin membuka ponsel itu. Tapi, aku sudah tidak bisa menahannya lebih lama lagi.

Mataku membulat melihat ratusan LINE dari Raka.

Raka: Lar

Raka: Oi

Raka: Heh!

Raka: Rissaeh

Raka: Bales

Raka: Bales (2)

Raka: Bales (3)

Raka: Bales (4)

Raka: Astaghfirullah

Raka: Sok sibuk

Raka: Ew

Raka: bales sebelum sinyalku ilang

Raka: ini udah jam lima! Tiga puluh menit lagi. Bales

Aku menatap layar ponselku dengan geli. Kenapa Raka sangat menggemaskan? Harusnya, aku tau bahwa tidak seharusnya berharap lebih pada Raka. Harusnya, aku tidak menganggap dengan serius pesan-pesan yang dikirimkannya setiap hari. Namun, pada dasarnya aku perempuan yang selalu terbawa perasaan hanya karena hal kecil. Termasuk ini.

Aku menimang ponselku. Antara ingin membalas dan bingung membalas. Otakku berputar cepat memikirkan berbagai kemungkinan yang akan aku terima. Untungnya, hatiku sudah memiliki cukup tameng dengan setiap balasan yang dikirim oleh Raka.

Larissa: Cot

Mungkin itu lebih baik. Menurutku. Setidaknya balasan itu tidak menunjukkan bahwa aku terbawa.

Raka: Udah balesnya lama, dibales gitu doang. Awas kamu, ya!

Bibirku tertarik. Sempat heran, jika saja aku yang notabene-nya adalah sahabat, Bagaimana dengan Indri yang notabene-nya adalah pacar Raka. Mungkin, Indri sudah menerima ribuan pesan dari Raka jika menghilang sepertiku tadi. Apa lagi, jika anak angkatnya yang bernama Tav dan Tev mengilang. Dulu, aku sempat heran kenapa di usia Raka yang masih sangat belia itu sudah mengadopsi anak. Ehm, atau mungkin anaknya yang mengangkat dia sebagai papa? Oh, aku tidak tau.

Larissa: Ngapa sih nge-LINE banyak banget

Raka: Aku di depan rumah kamu, pea

Mataku membulat sempurna melihat balasan Raka. Segera aku melesak keluar dari kamar untuk menghampirinya. "Ish, kenapa gak pencet bel aja, sih, Rak?" Aku mendumel melihat Raka yang berdiam diri di balik pintu tanpa berniat mengetuk pintu atau memencet bel.

"Kali aja ganggu. Kan bel rumahmu berisik. Masa bunyinya 'Assalamualaikum, mas, mbak sekalian. Selamat datang' biasanya kan bel bunyinya singkat," jawab Raka luwes.

Kutepuk dahiku keras. Sejenak aku lupa dengan bunyi bel rumahku yang emang gak jelas banget. Itu adalah sebagian perilaku abnormal orang tuaku. "Ya, mau gimana lagi. Tau sendiri kan, Papa Mail sama Mama Femy kayak gimana. Sadis sadis tijel gitu." Aku mengakhiri ucapanku dengan kekehan.

Sepersekian detik, aku menelusuri wajah Raka yang tampak berbeda. Pucat dan juga lesu. Refleks, tanganku terulur untuk menyentuh dahinya yang. Hangat. "Ngapain ke sini? Kamu sakit, Raka."

Ia mengusap hidungnya pelan. "Gak apa. Kangen aja sama kamu, tiga hari ga ke sini." Matanya yang sayu menatapku. Aku mendengus pelan, tidak tega melihat wajah Raka yang sayu seperti itu. Kuraih tangannya dan mengajak masuk ke dalam rumah.

"Abis ngapain, sih, Rak? Kok gini. Kamu tuh jangan kelayapan mulu kerjaannya. Gini kan, jadinya. Demam, pilek. Jaga kesehatan sedikit kenapa, sih. Kalo sakit kamu juga yang menderita." Aku mengomelinya.

Raka menyentil keningku pelan. "Bawel banget dasar. Beruntung ya aku, punya sahabat kayak kamu." Dia melirik ke arahku yang sedang memilih obat untukknya, "udah baik, pinter, cantik, bawel, gemesin."

Tubuhku menegang. Kuhampiri Raka dengan langkah lebar. "Tumben muji." Kali ini, aku berusaha menahan segala perasaanku agar tidak terlalu terbawa dengan perkataannya. Sempat kurasakan pipiku memanas karena pujian yang ia lontarkan kepadaku. Tapi, otakku memerintahkan untuk menepis segalanya.

"Diledekin salah, dipuji salah. Mau kamu apa?" Ia menarik pipi kananki gemas.

Sebisa mungkin aku menahan diri agar tidak mengatakan 'Aku mau cinta kamu aja' tentu saja jika aku menjawab seperti itu, keadaan akan canggung seketika. "Mau kamu sehat aja."

Kulirik Raka yang tengah menyunggingkan senyum tipis. Melihatnya tersenyum, tak urung bibirku ikut menyunggingkan senyum. Aku menyodorkan tiga butir obat dan segelas air putih untuk Raka. Detik selanjutnya, kakiku melangkah menuju dapur yang tak jauh dari tempatku berada.

"Rak, aku buatin kamu susu cokelat, ya." Pertanyaanku hanya dihadiahi anggukan oleh Raka.

Tak lama setelahnya, Raka berceletuk. "Harus manis, biar kayak kisah kita."

Manis? Kenapa aku malah mengingat Tama?

•••

thanks to ReadersWritersClub indrindahsr rakapratama wicksn RynTha femylaa

Larissa [6/6]Where stories live. Discover now