Free Call

180 42 29
                                    

Jam telah menunjukkan pukul 23.30 WIB, tapi aku masih terjaga. Jemariku masih setia membalas satu demi satu pesan yang bermunculan di layar ponselku.

Ivana: jadi karak, nama asli lu itu siapa? Raka, rey, yanto atau apa?

Tev: nama papa itu yanto!

Tav: enggak Tev nama papa itu suprik!

Mira: bukannya roy ya?

Dee: kalian ngomong apa sih?
Kok aku enggak paham?

Tev: lah kak Dee sider ya?

Tav: wah kak Dee wah

Dee: eh? Enggak kok! Nak ea

Ilham: Dee blm tidur? Udah malem lo;)

Tev: wahhh kak Ilham liat kak Dee muncul langsung deh muncul juga

Tav: iya ni! Jangan-jangan kak Ilham naksir kak Dee ya?

Dee: eh? Enggak woi, gosip ae kalian
Dah bubu gih ntar besok kesiangan

Indri: iya juga gpp Dee:) tiati di serbu salwa ae ya;)

Salwa: kain apaan sih? Aku panggilin karak ntar:)


Ilham: Sal tidur, udah mlm

------

Ku pandangi pesan terakhir itu, singkat namun terselip rasa khawatir di sana. Jangan berfikir aku ini cenayang , anak indigo atau sejenisnya. Aku hanya terlalu peka terhadap sekitar, itu saja. Namun, aku sukar untuk peka dengan perasaan orang lain kepadaku.

Aneh? Memang, aku pun tidak mengerti mengapa bisa seperti ini.

Perlahan kantuk mulai menguasai diriku, kelopak mataku perlahan tapi pasti, mulai menutup hingga deringan handphone di genggaman tangan membangunkanku

"Ck, siapa sih malem-malem gini nelpon?!"

Dengan tergesah-gesah aku mengangkat telpon tersebut.

"Hallo?!" ucapku dengan nada yang tak bersahabat.

"Ets, slow babe. Aku ganggu ya?"

Aku tertegun saat mendengar suara berat dari ujung sana, secepat mungkin aku melihat nama yang tertera di layar ponsel. Dan benar ini dia, dia yang membuatku berbeda akhir-akhir ini. Dia adalah Ilham.

"Hallo Dee? Kamu belum tidur, 'kan?"

"Eh? I ..., iya belum kok, kenapa Ham? kok tumben nelpon?"

Sial, kenapa harus segugup ini?

"Kenapa belum? Ini udah malem loh, Dee," ucapnya dengan nada yang lembut.

Oh Tuhan, kenapa dia harus selembut ini? Jika terus-terusan seperti ini pertahanan ku akan hancur

"Hmm ..., tadi sudah mau tidur, tapi kamu telpon hehe."

"Oh maaf, Dee. Aku enggak tau, ya sudah kamu tidur ya, jangan lupa baca doa sama wudhu."

Double shit, dia benar-benar membuatku terbang dengan perhatian kecilnya. Katakan lah aku terlalu baper atau terlalu jomblo, tapi oh ayolah, setiap perempuan pasti sangat menyukai perhatian kecil semacam ini, right?

"Ngg ..., O-oke Ham, kamu juga ya hehe."

"Oke Dee, good night."

"Iya good night."

Terdengar suara sambungan terputus dari seberang sana. Dapat kurasakan degup jantungku yang bekerja dua kali lebih cepat dari biasanya.

Perasaan macan apa ini? Kenapa aku merasakan sesuatu yang aneh di dalam hatiku, sesuatu yang tak pernah kurasakan walau bersama Kiki sekali pun.

Aku menarik napas dan memejamkan mata, berusaha menenangkan diri dan mencoba untuk terlelap. Tapi lagi-lagi usahaku gagal karena handphone-ku yang kembali berbunyi.

"Iya Ham, ada apa?" ucapku dengan suara yang lemah, sungguh aku benar-benar mengantuk.

"Ham? Ham siapa sih, Dewi? Ini Kiki."

Aku kaget, sungguh. Dengan cepat aku melihat nama penelpon dilayar handphone-ku dan benar itu Kiki.
Aku menepuk jidatku pelan, dasar ceroboh.

"Eh? Maaf Ki, bawaan ngantuk jadi enggak sadar hehe."

"Oh gitu? Ya sudah, mending kamu tidur. Besok pagi aku jemput jam 06.00 ya, kita lari pagi."

"Oke Ki, aku tidur ya? Good night."

"Good night too, sweetheart."

Belum sempat aku mematikan sambungan telpon, aku sudah terlelap dalam tidurku. Benar-benar hari yang melelahkan.

Readers Writes Love [8/8]Where stories live. Discover now