3: hope.

46 8 0
                                    

Aku selalu berharap bahwa kau disampingku.

--------------------

"Test."

Evan? Evan mengirim pesan?.

Apa aku bermimpi?.

Aku berlari ke arah tempat tidurku dan meloncat loncat kegirangan seperti anak kecil yang mendapatkan hadiah yang telah lama ia tunggu-tunggu.

"Kenapa?." Jawabku di message.

Aku menunggu pesan darinya setelah 1 menit kemudian dia membalas.

"Jangan lupa tugasnya. Oke?." Dia menanyakan tugasnya. Hanya menanyakan tugasnya.

"Iya." Jawabku singkat.

"Lo udah nyelesain tugasnya belom?."

"Udah gua selesain kok."

10 menit kemudian.

*read*

Just read? Read aja?.

Setelah aku menunggu selama 10 menit, hasilnya sangatlah mengecewakan, ia hanya membaca pesanku dan sepertinya ia tak berniat untuk membalas pesan ku itu.

Sebelum aku tidur aku memeriksa tasku untuk melihat sudah kuletakkan dalam mapku tugasnya Evan.

Sama seperti biasa pagi-pagi aku sarapan, menyiapkan tasku berada di depan teras dan mengecek ulang, apakah aku sudah meletakkan tugas Evan? Oh ternyata tetap berada di tasku.

Seperti kemarin aku datang lebih awal agar Evan tidak menunggu-nungguku. Sesampainya di kelas mataku tertuju pada sesosok Evan yang sedang berdiri dan berbicara dengan temannya.

Aku melewati Evan yang sedang berbicara dengan temannya. Sesaat aku melintasnya, tiba-tiba.

"Len lo bawakan?." Tanya Evan.

"Iya gua bawa kok." Jawabku.

Aku berjalan kearah bangkuku dan dengan diiringnya Evan berada di belakangku yang mengikutiku. Aku mengeluarkan mapku yang berisi nilai2 ulangan ku dan tugas2 ku, dan tak lupa tugas Evan yang sudah kuselesaikan.

"Ini." Jawabku.

"Nah gitu dong." Evan pergi setelah itu. Tidak berterima kasih?.

Evan sama sekali tidak menghiraukanku dia pergi untuk mengumpulkan tugas itu.

--------

Waktu istirahat aku tetap memandangnya. Yang benar saja dia belum sama sekali berterima kasih kepadaku? Ada apa dengannya?.

"Lo tau? Sekarang permainan itu sudah dihapus." Jawab Evan yang bercerita dengan teman-temannya.

Suara itu mulai agak samar karna Evan keluar dari kelas. Sama sekali dia belum berterima kasih padaku. Apa ini hanya hal sepele? Aku mengerjakan tugasnya dengan sangat hati-hati tapi dia tidak menghargai apa yang telah kuperbuat untuknya dan mengabaikanku?.

"Ilenee!." Aku mendapatkan Felicia memanggilku.

"Lo tau ga?." Tanyanya yang berlari kearah bangku Karren yang berada disampingku.

"Gua tadi ketemu sama dia. I'm so excited hari ini Len!."

Aku hanya memandangnya dan berfikir. Bagaimana bisa hanya bertemu dengannya dan sama sekali tidak ada komunikasi dia sangat bahagia? Perasaanku saat aku melihat Evan dari kejauhan tidak ada rasa ingin menjerit. Wajar semua orang belum sama sekali ada yang tahu bahwa aku menyukainya.

"Hei!. Ayolah lo ga perhatiin gua cerita." Lamunku menghilang setelah ia menyadarkanku dari lamunanku tadi.

"Ayolah. Lo ngapa? Cerita gih sama gua gitu. Kalo ada apa-apa ya cerita." Tanyanya.

"Apa gua ganggu lu sekarang? Kalo gua ganggu sorry deh." Jawabnya dengan nada yang terdengar cemas dan berdiri dari bangku sebelahku. Aku langsung menariknya kembali untuk tetap duduk di sampingku.

"Oh tidak. Tadi gua mikirin tugas tadi gimana ngerjainnya."

"Mau gua kerjain?."

"Hah? Ga usah ih ngapain. Tadi cerita apa lo? Ketemu dia?."

"Iya! Tadi di kantin gua ketemu dia terus diakan di samping gua gitu jadi gua seneng banget ngebayangin gimana kalo gua selalu disampingnya seperti itu." Panjang lebarnya sambil mempukul -pukul tanganku.

*bunyi bel*

Kring... kring...

"Ah baru juga gua cerita dikit udah bel aja. Ya udah nanti di lanjut. Oke?." Jawabnya agak lesu.

"Iya nanti cerita lagi ya."

Aku melihat Evan yang baru saja masuk ke dalam kelas dan diiringi dengan teman-temannya yang mungkin baru saja ke kantin. Belakangan ini aku memang jarang ke kantin. Karna menurutku terlalu ramai dan juga sangat mendesak jika ingin memesan makanan di sana.

"Karren." Sapaku yang baru saja Karren dari toilet.

"Yap?."

"Pinjam buku matematika lo."

"Lo belom buat?."

"Belom. Dikit lagi cuma nomor 9 doang."

"Yaelah elo. Ngapain aja sih semalem."

"Cepetan, mana?." Potongku yang tidak menghiraukannya.

Karren memberi buku catatan matematikanya dan aku masih saja tetap melihat Evan yang 1 bangku lebih depan dari bangkuku.

Aku memang selalu memilih berada di belakangnya agar aku dapat memandangnya setiap saat dan memperhatikan apa saja yang ia lakukan.

Evan duduk dengan sahabatnya. Aku juga tidak terlalu dekat dengan sahabatnya. Aku memang lumayan dekat dengan semua laki-laki tapi belakangan ini aku agak berbeda dengan yang dulu. Aku tidak tau apa yang terjadi padaku.

Tapi aku masih memikirkan. Bagaimana bisa Evan tidak menegurku sama sekali bahkan untuk berterimakasih atau sekedar mengatakan bahwa ia sudah mengumpulkan tugasnya? kenapa dia terlalu cuek.

Aku rasa aku tidak perlu banyak berharap padanya untuk berterima kasih padaku. karena menurutku itu tidak mungkin terjadi.










Haiiiii. Btw ini cerita real life. Ga murni bgt ada yang ubah" juga kok .
Tapi pada intiny ini jalan hidup gua(?) curcol najis.

Comment sama vote yeahhhhhh.

There's No Second Chance.Where stories live. Discover now