IV. "Mengerti dan Menyesal"

7.3K 657 5
                                    

Hari ini adalah hari pertama kebebasan prilly. Tidak ada bangun sebelum subuh, tidak ada acara bersepeda pagi menemani Ali lari pagi, tidak ada masak-masak bekal di pagi hari.

Berangkat sekolah diiringi bujuk rayu Mbok Min yang menyuruhnya sarapan dulu, dan membawa bekal yang sudah disiapkannya. Hasilnya, tentu saja tidak berhasil, Prilly tetap bersikeras nanti sarapan di kantin sekolah saja.

Memasuki area sekolahnya Prilly mengamati area parkiran yang sudah ramai, tapi tidak terlihat motor Ali di sana.

"Tumben belum dateng jam segini," gumamnya setelah melihat jam di tangannya yang menunjukkan waktu bel berbunyi tinggal sepuluh menit lagi.

Mengedikan bahu, dan menelan rasa penasarannya Prilly berjalan menuju kelasnya. Tidak ada yang berbeda di dalam kelasnya saat Prilly datang, sudah ramai, tapi seperti biasa tidak ada yang menyapanya. Padahalkan Prilly sudah bebas sekarang, kenapa masih tidak punya teman?

Kerutan samar-samar terbentuk di kening antara alisnya, mendesis pendek merasa ada sedikit nyeri di perutnya. Telungkup di atas meja, Prilly menyembunyikan tangannya yang sedang meremas perutnya supaya sakitnya hilang.

Pelajaran pertama sudah dimulai, tapi Prilly baru bisa berkosentrasi pada saat jam kedua karena nyeri pada perutnya baru mulai mereda.

Jam istirahat Prilly memutuskan untuk pergi ke kantin mengisi perutnya. Matanya berbinar saat melihat kedai bakso di kantin, sudah lama dia tidak makan daging kenyal bundar itu.

Saat istirahat seperti ini, kantin memang ramai, kursi-kursi sudah penuh. Prilly celingak-celinguk mencari tempat kosong sampai ada seseorang yang memanggilnya.

"Prilly, sini." Lambaian tangan Benua membuatnya meringis kikuk. Tapi sedetik kemudian wajah bingung yang kentara, di mana Ali? Kok tidak bersama mereka.

"Makasih Ben. Kantin rame banget, nggak ada kursi kosong," ucapnya sembari duduk di samping Benua.

"Santai aja kali Prill, kayak sama siapa aja, biasanya juga kita-kita yang nimbrung sama lo, si Ali sibuk banget ya di osis sampai-sampai jam istirahat begini dia masih di sana, lo yang sabar aja Prill, namanya juga ketos. Lo sama kita-kita aja dulu." Benua cerewet sekali.

Prilly hanya tersenyum canggung, menjawab serentetan kalimat Benua hanya dengan sebuah anggukan. Sepertinya mereka tidak tahu keadaannya dengan Ali saat ini yang sedang perang dingin.

Bukan tidak sadar ada yang sedang menatapnya tajam, tapi Prilly memilih tak mengacuhkannya. Menuangkan caos kecap dan juga sambal ke mangkok baksonya.

"Lhah, Prill, lo makan bakso? Nakal ya lo, mentang-mentang Ali nggak ada lo berani makan bakso, pakek sambal lagi." Ainun geleng-geleng kepala. "Apalagi ini? Jus jeruk?" Sekarang Ainun mengangkat gelas jus jeruk Prilly sambil menutup mulutnya, matanya melotot hiperbolis.

Prilly nyengir-nyengir saja, sangat paham kenapa Ainun bisa seheboh itu. Karena memang biasanya, makanan dan minuman seperti ini, adalah makanan terlarang baginya, dan kalian pasti tau siapa pemberi larangan itu.

"Lo tuh nggak tau terimakasih, nggak bersyukur dengan apa yang udah lo dapet, inget, sesuatu akan terasa berharga kalau sesuatu itu sudah hilang." Soraya yang sejak tadi hanya menatapnya tajam akhirnya bersuara, judes seperti biasa, tapi entah apa arti dari perkataannya.

Prilly menatap Soraya bingung, menunggu kalau-kalau Soraya akan mengatakan sesuatu lagi yang lebih jelas. Namun, nyatanya Soraya malah pamit untuk ke kelas duluan.

Selera makannya sudah hilang, rasa bakso yang dia makan hambar, celotehan teman-temannya pun hanya seperti kicauan burung yang tak berarti. Raga Prilly ada di sini, tapi entah jiwanya. Ada sesuatu yang hilang ... dan Prilly belum menyadarinya.

A Real Boyfriend (5/5)Where stories live. Discover now