16 (Unpredictable Surprises)

12K 925 36
                                    

Aku merasa benar-benar buruk. Tidak pernah seburuk ini. Aku ingin bumi mengisapku detik ini juga, atau mungkin seseorang harus menguburku hidup-hidup ke dalam tanah. Apapun itu, asalkan aku bebas dari kekacauan ini.

Tanganku masih gemetar sembari menggenggam selembar kertas robekan buku harian yang beberapa hari ini menerorku. Pikiranku dipermainkan, aku benci teka teki yang selalu membuatku tak bisa tenang. Kemarin aku berfikir bahwa teror ini hanyalah sebuah lelucon untuk membuat hubunganku dengan Franzel goyah. Namun, pagi ini, tulisan yang ada di lembaran buku harian berikutnya merubah pemikiranku nyaris 360 derajat.

Agustus, 29th/2015

Aku menemukannya!

Aku menemukan anak laki-lakinya. Seorang pembalab liar rupaya.

Brengsek!

Dia dikelilingi oleh orang-orang berbahaya. Sekelompok brandal telah menjadi teman baiknya. Akan sangat menyulitkanku untuk mengintainya. Tetapi, mereka takkan memanggilku James Franzel jika apa yang kuinginkan tidak tercapai.

Semalam aku menemuinya.

Max Daviner.

Dia memiliki nama yang cukup mengerikan. Tak semengerikan niatku untuk mengacaukannya atas semua kesalahan orang tuanya. Malam ini, aku menyusun rencana. Kucoba untuk mengajaknya untuk menjadi jagoanku dalam acara balapan palsu yang akan kugelar lewat orang lain. Aku menjajikan bayaran yang besar, dan aku begitu yakin dia akan tertarik. Dan dia mungkin akan masuk pada perangkapku.

Aku mengawasi Max dari jauh. Dia begitu angkuh. Dia menolaknya. Dan itu membuatku harus memukul stir kuat-kuat hingga tanganku beradarah. Ternyata dia begitu sulit untuk dimainkan.

Namun aku tidak berhenti. Kucoba untuk melacaknya, dan akhirnya aku tahu bahwa dia memiliki dua saudara lagi. Seorang laki-laki pecandu yang sekarat dan seorang gadis yang masih bersekolah.

Ah, aku sama sekali tidak tertarik dengan yang paling muda.

Sepertinya menghancurkan yang sekarat jauh lebih mudah.

Aku meremas kertas itu sambil memejam kuat-kuat. Hari ini aku memilih untuk tidak mengikuti jam pertama. Percuma aku mengikuti kelas jika pikiranku berpencar kemana-mana. Duduk di gedung olahraga sendirian itu jauh lebih baik untuk saat ini.

Jadi, orang tuaku adalah pelakunya?

Pertanyaan itu menggema di telingaku. Rasanya aku ingin menggeleng keras hingga kepalaku putus detik ini juga. Tidak mungkin!

Bagaimana bisa?

Orang tuaku tentu tak mungkin melakukannya!

Kentish selalu ada di rumah dan dia tentu tak menyembunyikan apapun, dia selalu berada bersamaku sejak aku kecil, mengurusku dan mengerjakan perkerjaan rumah. Hanya sesekali dia menjadi koki yang dibayar perjam, itupun hanya setiap akhir pekan. Memang! Memang bukan Kentish. Kentish selalu berada di rumah.

Tapi, tidak dengan Brount...

Seketika tenggorokanku terasa begitu kering. Punggungku menegak dan mengeras. Brount?

Ah, aku teringat bahwa dia sering meninggalkan rumah untuk berlayar saat aku dan yang lain masih sangat kecil. Dia dulu pernah ikut berlayar dan jarang kembali. Terkadang satu tahun dua kali, hal itupula yang memicu pertengkaran antara dirinya dan Kentish hingga akhirnya mereka berdua bercerai.

Another HopeWhere stories live. Discover now