20 (This Is End)

22K 1K 111
                                    


Franzel tinggal di Dubai dua hari ke depan untuk membereskan seluruh kekacauan ini. Mulai dari bernegoisasi dengan pihak kepolisian sampai pembangunan kembali kantor utamanya yang rusak parah. Aku memutuskan untuk tinggal dengannya; menemaninya selama dua hari itu. Dan kami akan kembali tepat pada hari dimana keluarga kedua keluarga akan bertemu.

Max dan Natalie pergi ke Las Vegas untuk merayakan semua keberhasilan. Kuharap usaha Max untuk mendekati Natalie berjalan lancar di sana. Franzel memberikan dana ucapan terima kasih kepada Max dan juga kelompok pencinta balap liar mereka di sana. Meski awalnya Max menolak, namun Franzel juga tetap bersikeras karena dia adalah tipe orang yang memaksa. Mungkin aku akan bertemu dengan Max lagi saat pertemuan keluarga nanti.

Aku terbangun saat mendengar suara musik dari ruang tengah. Sedikit terkejut karena ternyata ini sudah malam. Aku tertidur tadi sore saat menonton TV.

Kuusap mataku dengan jari-jari saat sembari berjalan menuju kemana musik itu terdengar. Aku mengenal lagu ini, salah satu lagu terbaik dari koleksi lagu Adele di album 25, judulnya All I Ask. Mataku melirik sebuah kepingan lebar CD, yang sedang berputar.

Samar-samar aku melirik ke satu sudut dan melihat Franzel tengah beridiri, menatap keluar kaca gedung. Pemandangan malam Dubai terlihat jelas di sana. Lampu-lampu indah menyala menghiasi setiap gedung pencakar langit. Mobil-mobil terlihat seperti lampu kecil yang berjalan di bawah sana.

Aku menghampiri Franzel. Aku baru ingin menyapanya, namun saat dia berbalik aku spontan memekik tertahan karena kulihat matanya yang memerah. Bau alkohol langsung menyeruak menembus indra penciumanku.

Dia pasti sedikit mabuk.

Kulihat dua botol kosong yang ada di meja. Dan aku mendesah. Kutarik tangan Franzel perlahan. "Ayo, kau butuh istirahat." Aku menatapnya kasihan.

Dia memang terlihat sangat depresi. Aku menariknya, dan bersyukur dia menurut. Aku membawanya ke kamarnya, mendudukannya di ranjangnya lalu ku lepas sepatunya satu persatu. "Kau tidak seharusnya minum," ucapku sambil mengangkat kakinya kedua kakinya ke ranjang.

Franzel hanya diam, dia terus menatapku, matanya kian lama, kian berkaca-kaca. Lagu dari ruang tengah masih terdengar. Sementara aku tetap membantunya membuka kemejanya hingga menyisahkan kaos dalamnya.

"Tidurlah. Bukankah kita harus kembali ke New York besok?" Aku mengusap pipinya lembut. Hatiku pedih melihatnya seperti ini. Kulemparkan senyum untuknya sebelum akhirnya aku beranjak untuk kembali ke kamarku, namun ternyata dia menahan tanganku.

"Jika besok malam kita akan kembali, itu artinya ini adalah malam terakhir kita bersama." Terdengar seperti kalimat tanya.

Aku membasahi bibir bawahku, jarak di antara wajah kami begitu dekat. Itu membuat jantungku berdebar keras. Sudah sangat lama aku tidak sedekat ini dengannya. Aku hanya diam, tak tahu harus menjawab apa. Tatapannya terus mengunciku, satu jarinya bergerak menggapai leherku, menggelitikku tepat di sana.

"Franzel... kita tidak bis—." Aku menggeleng, hendak menolak, mencoba menjauh namun tangannya menahanku.

"Aku mohon..." ucapnya seperti merintih. "Aku benar-benar membutuhkanmu." Dia mencium leherku singkat.

Hal yang membuatku merinding. Aku berusaha mendorongnya, namun gagal. Franzel benar-benar tak ingin mengalah. Hasrat dan keinginannya begitu kuat. Dia memelukku seolah-olah dia tak ingin kehilanganku.

"Franz--,"

Bibirku dibungkam oleh bibirnya. Ciumannya yang justru kian melembut membuatku mulai terbawa. Aku tak bisa munafik lebih lama. Sejujurnya selama ini aku juga merindukannya, merindukan sentuhannya. Hanya saja, semua keinginanku itu tertutup oleh rasa sakit hati dan ketakutanku, ketakutan bahwa jika aku membiarkannya menyentuhku lagi, maka akan semakin sulit untuk melupakannya.

Another HopeWhere stories live. Discover now