Part 1

154 11 0
                                    

Dulu, aku percaya tasbih dan salib dapat menyatu, dulu. Sebelum kau memilih pergi dengan yang seiman denganmu.

Seorang gadis menundukkan kepalanya sambil menggenggam erat kalung salib di antara kedua telapak tangannya. Dia terlihat sangat khusyuk berdoa di dalam hati pada sebuah gereja kecil, di antara bangku-bangku kayu berwarna cokelat tua yang berjejer. Sinar matahari pagi perlahan menembus kaca jendela gereja itu hingga menyentuh lantai. Suasana hening menyelimuti gadis itu. Udara di sekitarnya menjadi saksi bisu doa-doa yang diucapkan mempertaruhkan harapan terakhirnya.

Tuhan, kumohon persatukan kami whidup dan mati. Aku sungguh mencintainya. Aku mulai lelah. Permudahkanlah... Amin..., ucap gadis itu tanpa suara. Bulir-bulir air matanya mulai merebak dari ekor matanya, menjulur turun ke pipinya dan jatuh tepat pada kalung salib yang dia genggam. Wajah cantiknya tampak lelah berharap. Bibirnya bergetar mengais ketabahannya yang kian menipis.

Sementara itu, di suatu tempat yang berbeda di waktu yang sama.

Di sebuah kamar bercahaya temaram, seorang pria baru saja menyelesaikan sujudnya pada rakaat terakhir. Kedua telapak tangannya diangkat sedada, kakinya yang tertutup sarung bersila, dan kepalanya mendoak ke atas dengan mata memejam.

"Ya Allah, jika dia memang jodohku, jodohkanlah kami. Hamba mohon, kami sudah berjuang sejauh ini, kabulkan doa hamba untuk kali ini. Kabulkan doa hamba untuk kali ini.
Amin...," ucap pria itu sungguh-sungguh.

Bibirnya mengatup, hatinya bersuara melafalkan doa-doa yang dia hapal di luar kepala. Di atas sajadah, pria itu memasrahkan nasib hubungannya yang berada di ujung tanduk. Di dalam doanya pikirannya menerawang jauh pada ingatan pahit beberapa waktu lalu.

***

"BERANI-BERANINYA KAMU KE SINI LAGI, RAFLI. SAYA KAN SUDAH BERKALI-KALI BILANG, JAUHI ANAK SAYA! JANGAN BERHUBUNGAN LAGI DENGAN DIA! SAMPAI KAPANPUN SAYA TIDAK AKAN MERESTUI HUBUNGAN KALIAN!" Bentak seorang perempuan paruh baya sambil berkacak pinggang dan menunjuk pria di hadapannya. Dari sorot matanya yang tajam, terlihat kebenciaan yang sangat kentara. Wajahnya merah padam, napasnya tersungut menahan luapan-luapan amarah yang bergerumul dan siap menghancurkan tembok kesabarannya.

"Maaf tante Agnes, saya hanya ingin berbicara sama Fani. Kali ini saja untuk terakhir kalinya. Saya mohon, saya hanya ingin berbicara dengan Fani untuk menyelesaikan–"

"TIDAK! PERGI KAMU DARI SINI! DAN JANGAN PERNAH MENGINJAKKAN KAKI KAMU LAGI. FANI SUDAH TIDAK TINGGAL DI SINI! TOLONG JANGAN MERUSAK RUMAH TANGGA ORANG LAIN!" Tante Agnesia semakin kencang membentak, emosinya sudah tak dapat ditahan lagi hingga dia melempar toples cemilan yang tidak bersalah di meja ruang tamu ke arah Rafli. Pria itu segera menghindar ketika toples yang dilempar tante Agnes melayang di udara dan hampir mengenai kepalanya.

"PERGI ATAU SAYA LAPORKAN KAMU KE POLISI?!" ancamnya lagi dengan suara menggelegar di udara. Rumah yang sebegitu megah ini tampak kecil dengan suara tante Agnes yang memekakkan telinga.

Rafli berdiri mematung. Rahang pipinya mengeras. Jemari tangan kanannya dikepal menahan emosi. wanita yang mengusir dan mengancamnya itu adalah ibu dari kekasihnya, Fani. Dia sangat mengerti perintah dari wanita di hadapannya itu. Dia tidak dapat berbicara apa-apa lagi. Kedua telinganya sudah sangat kenyang mendengar bentakan dan cacian dari mulut tante Agnes selama ini. Rafli akhirnya dengan berat hati beranjak pergi meninggalkan rumah Fani. Pada setiap langkak kakinya, satu persatu harapan cintanyanya terbunuh keji.

Dari balik jendela, Fani menangis melihatnya. Perasaan Fani sangat terkoyak melihat kejadian barusan. Dia merasakan pedih yang menyayat hatinya saat melihat Rafli melangkah pergi. Dari kejauhan Fani memperhatikan dengan seksama pria itu mulai perlahan menghilang seiring dengan pandangannya yang memburam karena air mata yang mengucur deras menghalangi pengelihatannya. Tangisannya semakin kencang saat sosok Rafli tidak terlihat.

Di Ujung JalanWhere stories live. Discover now