DUA

17.6K 1.4K 13
                                    

  "Bam, menurut lo Ivi gimana?" Fery berbisik pada Ibam, lalu melirik Ivi yang sedang membicarakan pekerjaan dengan Adam di meja Iren, tak jauh dari meja mereka.

"Gimana apanya?" tanyanya balik, berusaha terlihat tak acuh walau ekor matanya terus menangkap gerak-gerik gadis itu.

"Muda, cantik, mapan, jomblo lagi." papar Fery dengan semangat.

"Jutek." selak Ibam lalu kembali membolak-balik kertas di depannya.

"Tapi... kalo dia sama Adam cocok ya." Fery kembali melirik ke arah Ivi yang tengah berjalan beriringan dengan Adam menuju ruang meeting kecil yang ada di sana.

"Nggak cocok. Cocokan sama gue." jawabannya langsung membuat sebuah gulungan kertas mengenai kepalanya. Ini bukan kali pertama Ibam mendengar komentar orang mengenai betapa serasinya Ivi dan Adam. Dia bosan mendengar itu terus menerus. Intensitas hubungan mereka dalam masalah pekerjaan mungkin bisa dijadikan alasan betapa mereka terlihat cocok satu sama lain. Tapi masalahnya, ia tidak bisa melakukan appaun untuk mencegah teman-temannya berpikir seperti itu.

Ibam: Jangan terlalu deket sama Adam.

Ivi membuka pesan itu di tengah-tengah meeting dan membuat dahinya berkerut dalam.

Ivi: Kenapa?

Ibam: Kamu makin kelihatan cocok kalo keseringan deket sama dia.

Ivi tersenyum. Ia menyadari bahwa isi pesan laki-laki itu seperti berbunyi 'aku cemburu sama dia.'. Tapi dia tahu, kalau kata-kata seperti itu tidak akan pernah meluncur dari mulut Ibam. Ibam terlalu gengsi untuk mengakuinya. Tapi, laki-laki itu punya seribu satu cara untuk menunjukkan hal itu dan Ivi sudah sangat hapal tingkah polah laki-laki itu.

Kalau dilihat, Adam yang menjabat sebagai manager akunting memang begitu cocok jika disandingkan dengan Vivian Wijaksana yang juga menjabat sebagai manager keuangan di umurnya yang masih dua puluh lima tahun. Kombinasi tampan dan mapan harusnya membuat keduanya menjadi pasangan yang sempurna. Tidak salah kalau banyak orang-orang salah mengartikan hubungan mereka yang hanya sebatas rekan kerja.

Ivi keluar dari ruang meeting jam tiga lewat lalu menghampiri meja Lisa.

"Lis, saya minta dokumen ini ya. Saya udah bilang sama Pak Adam. Minta tolong besok sebelum jam makan siang kamu kasih ke saya." katanya pada Lisa yang langsung mengangguk.

"Siap, Mbak." jawabnya

Ia lalu beralih menghampiri Fery. "Fer, dokumen pembayaran yang waktu itu diminta urgent sama pak Arsan udah diselesaikan belum? Udah mau diproses nih?" Ivi menyanggah tangannya di partisi meja Fery.

"Oh, itu sama Ibam, Vi." katanya sambil menoleh ke arah Ibam yang nampak cuek.

"Ibam, mana dokumennya?" kata Ivi, kini ia mendekati meja laki-laki itu.

"Dokumen yang mana?" tanya Ibam bingung.

"Itu yang kemarin lo urus. Dokumen kontraknya juga sama elo kan?" Fery memperjelas.

"Oh yang itu." Ibam berdiri, membuka lemarinya dan mengambil satu map putih.

"Ini itu dokumen urgent. Kenapa ditahan-tahan? Saya kena omel sama pak Arsan karena dikira belum jalanin." cecar Ivi sambil menatap Ibam yang menunjukkan wajah tanpa dosa.

"Baru clear kemarin malam kok. Emang dikira ini dokumen nggak pake dicek dulu." Ibam membela diri lalu kembali duduk di kursinya. Fery geleng-geleng kepala. "Kalau diomelin pak Arsan, bilang suruh ngomong sama saya." kata Ibam enteng. Ivi menggeram kesal. Ini bener-bener hari sialnya. Dateng mepet, diburu kerjaan, diomelin sana-sini.

BELIEVE (Elegi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang