2. Arin oh Arin

143 21 7
                                    

Nasib Arin dari pagi sudah apes.

Kulkasnya kosong, padahal dia lapar belum makan dua hari sejak dia melupakan dimana kartu sakti untuk gesek-geseknya. Perut Arin keroncongan tapi hanya sekotak susu yang tersisa. Padahal, Arin benci sekali susu. Apalagi susu sapi.

Hih! Membayangkan susu itu dibuat dengan cara diremas-remas saja sudah membuat Arin kalangkabut. Ayah-ibunya pergi jalan-jalan ke sumatera, katanya, mau melihat panthera tigris dikawin silangkan dengan singa. Alhasil, tidak ada sarapan pagi ala jaman penjajahan di meja dapur.

Mau tak mau, Arin berangkat sekolah dengan perut kosong dan hati hampa. Tapi, sepertinya dewa sial sedang bertandang ke distrik rumah Arin. Motor vespa peninggalan ayahnya mendadak minta ditendang, tujuh puluh tujuh kali tepatnya supaya hidup. Tapi waktu Arin tidak banyak, yang mana berarti waktu Arin sedikit, dan dia tak sudi membuangnya dengan menendangi motor butut merah pudarnya.

Arin biasa nebeng Bayam teman sekelasnya yang punya kebencian akut pada sayur bernama sama dengannya. Kebencian Bayam terhadap bayam sebelas sebelas dengan kebencian Arin pada susu dan angkutan umum. Namun seperti yang Arin duga, dewa sial masih betah dengan daerah rumahnya. Hipotesa Arin adalah, ada suatu daya tarik magis yang memberi undangan cuma-cuma alias gratis pada si dewa.

Rupa-rupanya, tidak hanya manusia yang suka gratisan. Dewa pun nampaknya suka dengan hal duniawi semacam itu.

Tentunya pekerjaan dewa sial tak berhenti sampai di sana. Pulsa Arin yang biasanya minimal ada untuk minta tumpangan, atau malak anak orang, tiba-tiba saja ludes karena Arin bukannya mengirim pesan, tapi malah menelpon. Lebih celakanya lagi, yang ia telpon bukan nomor si Bayam tapi rumahnya Bayam.

"Bayamnya ada Bi?"

"Whuaduh Neng, Dhen Bayam mah lagi--"

Tut . . . tut . . . pulsa anda

Dan begitulah akhir dari kesempatan Arin meminta Bayam mengantarnya. Kalau bukan karena ponsel itu milik Arin satu-satunya, dan Arin tidak mungkin minta dibelikan ponsel baru menggunakan alasan ponsel-rusak-Arin-banting-soalnya-kesel, Arin jelas akan membanting ponselnya paling sedikit tiga kali ke paving depan rumahnya.

Mobil keren milik Bayam, yang katanya cuman ada berapa puluh di dunia itu, menurut prediksi Arin sudah jauh di depan. Biasanya, Bayam bukannya takut terlambat jika menjemput Arin dahulu baru berangkat bareng. Hanya saja, pemuda berambut keriting itu sebenarnya keturunan orang yang memiliki pemikiran jauh ke depan, ke samping, ke belakang, ke atas, dan keuntungan dunia akhirat.

Intinya, dia bisa rugi bensin kalau harus menjemput Arin terlebih dahulu.

Sekarang, Arin sudah berada di halte bus, siap menyetorkan jempolnya jika ada bus yang malah lewat dan melenggang santai tak butuh penumpang. Masalahnya, siswa-siswi semacam Arin yang butuh transportasi cepat mengalahkan flash bukan cuma Arin. Tentu saja persaingan ketat memasuki bus penuh penumpang sudah siap dihadapi Arin.

Yah, memang. Ia sering kalah cepat jika guru-guru di sekolah menyuruh muridnya mengacungkan tangan, atau jari atau sepatu. Tapi itu kan semata karena dia malas maju ke depan kelas. Nah, yang ini jauh berbeda kasus. Siapapun lawannya, Arin tidak takut! Mau preman pasar sampai bencong beralis tebal, ia sudah memasang ancang-ancang jika harus berkelit untuk masuk ke dalam bus.

"Celaka dua ratus tiga belas ini mah." Arin bersungut-sungut. Tak hanya makian, sumpah serapahnya bisa terdengar sampai Merauke bahkan jika Arin sedang ada di Sabang. Roaming nasional bisa terjadi kalo Neng Arin sudah mulai kumat kesalnya.

Semangat delapan delapan kosong lima Arin terpaksa dibatalkan karena ada ibu hamil bawa anak tiga, yang masing-masing anaknya bawa belanjaan dari pasar. Bukannya Arin itu baik hati dan tidak tegaan. Masalah yang akan muncul adalah, Arin gak mau satu sekolahan menjauhi Arin semata karena Arin bukannya bau Bvlgary tapi bau ikan.

Tvendiek Tragicomedy G. ChallengeWhere stories live. Discover now