Fourteen

16K 1.6K 225
                                    

Mungkin kematian memang bukan hal yang terlalu menyedihkan. Siapapun manusia, bahkan makhluk hidup apapun pasti bakal mati tanpa terkecuali.

Ari tidak takut mati sekarang. Sungguh. Kerena baginya yang namanya kematian hanyalah sebuah siklus alami dari kehidupan itu sendiri.

Hal yang membuat kematian itu terasa menyedihkan dan menyakitkan adalah karena perpisahan. Perasaan ditinggalkan karena takdir yang sudah berkehendak seperti yang sudah digariskan oleh Tuhan.

Setelah kematian, yang tersisa hanyalah penyesalan yang tak berujung.

Walaupun ia tidak takut mati, tapi Ari tidak ingin mati sekarang. Tentu saja. Siapapun manusia yang punya akal pasti tidak ingin mati konyol begitu saja tanpa memberikan sesuatu yang berharga untuk orang-orang tercinta.

Jadi untuk kali ini, Ari harus bangkit. Walaupun disekitarnya masih gelap, sepertu berada di ruangan kosong dan hampa, ia merasa tubuhnya sangat lemas nyaris tak bertenaga, bahkan bernapas pun susah.

Ari memohon kepada Tuhan supaya ia diberikan kesempatan sekali lagi untuk hidup.

Sekali lagi saja. Supaya ia bisa membahagiankan orang-orang di sekitarnya, terutama mama.

Namun yang terjadi berikutnya malah di luar dugaan. Ari melesat ke atas menembus atap rumahnya menuju langit dengan kecepatan yang sangat tinggi.

Ia berusaha menghentikan laju tubuhnya, dan berhasil. Sekarang ia tengah melayang-layang di atas rumahnya dengan ketinggian sekitar 50 meter. Bisa ia cermati rumah-rumah serta gedung-gedung yang ada di Kabupaten Tulungagung. Pemandangan yang sangat indah dengan posisi matahari yang hampir tenggelam di sebelah barat.

Tapi....

Apa yang terjadi? Apa ia sudah mati?

Ari menunduk memandang tubuhnya yang tak memiliki wujud, bayangan yang tak terlalu jelas. Ia tersentak.

Tangisnya meledak saat itu juga.

"YA TUHAN!! ENGGAAAK!! INI NGGAK MUNGKIINN!!" teriaknya pilu sambil meraupkan kedua tangannya yang sangat amat transparan untuk menutupi wajah. Bahkan airmatanya pun tidak keluar.

Tubuhnya masih melayang-layang di udara tanpa beban, berbanding terbalik dengan beban di hatinya yang kian menumpuk dan membuatnya kesal pada dirinya sendiri.

"Kenapa....? Kenapa harus secepat ini, Tuhan..?" erangnya sambil menangis, meratapi takdirnya yang sudah berjalan di luar kuasanya sendiri.

"Aaaaaaaaaaaaaarrrgggghhh!" teriaknya lagi sekencang-kencangnya, berusaha memberi tahu dunia bahwa hatinya sekarang sudah hancur. Tapi siapa yang bisa mendengar suaranya? Siapa yang bisa? Mungkin hanya dirinya sendiri yang bisa mendengar teriakannya barusan.

Ari membuka matanya dan memandang rumahnya dari atas. Ia harus kembali ke rumahnya.

Ya! Harus!

Setelah berdebat dengan diri sendiri, Ari melayang turun menuju rumahnya. Ia menembus atap dan loteng di rumahnya hingga tubuhnya sekarang tiba di ruang tamu.

Alangkah kagetnya dia saat melihat beberapa orang sekarang tengah duduk di sana dengan raut wajah sedih. Tapi ini bukan tahlilan atau semacamnya, karena yang ada di ruang tamu sekarang hanyalah Kak Hana, Kak Geraldine, Om Raju, Titi dan Juli (teman sekelas Ari), dan Leo yang dulu pernah satu bangku dengan Ari saat MOS. Tak hanya itu, ada juga seorang cowok mirip Mas Agung yang memiliki paras lebih tua.

Mungkinkah itu Mas Agung dari masa depan? Sepertinya begitu. Dia sekarang sedang duduk bersama Om Raju dan saling berpelukan.

Oh iya, Ari baru ingat kalau Mas Agung yang ada di masa sekarang tengah koma dan dirawat di rumah sakit. Mereka berdua juga sedang membicarakan sesuatu sambil memegang tiga buah dompet, yang entah milik siapa.

Generation (boyxboy)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang