Kolong Kedua Belas: Perdebatan

7.6K 1K 195
                                    

            Vian sudah bisa pulang dari rumah sakit setelah tiga hari dirawat. Katanya hanya gejala tifus. Bunda dan ayahnya berkali-kali minta Vian pulang sebentar dan istirahat di rumah. Namun Vian beralasan kalau dia harus sekolah karena nggak mau ketinggalan pelajaran. Ketiga cowok itu juga ngomel ketika tahu apa yang Vian lakukan.

"Kamu tuh ya ditawarin libur malah nolak!" Bima mencibir. Gigih mengangguk membenarkan. Vian mengedikkan bahu.

"Di rumah juga percuma, nggak bakalan boleh keluyuran sama bunda."

"Kamu sebenernya punya niatan lain, kan?" Satrio peka, lalu menatap mata Vian lagi. Vian mengerjap, lalu mengangguk. Dia ngaku sekarang.

"Aku masih kepo soal Bintang. Aku nggak akan nyerah. Kehilangan liontin itu bikin aku instrospeksi..."

Ketiga cowok itu melongo saat mendengar ucapan Vian. Tumben Vian bicara dengan filosofis begitu. Berarti ada yang salah saat ini.

"Kamu mau apa?" Gigih mendekat ke arahnya.

"Aku masih belum nyerah. Aku harus mendapatkan informasi soal Bintang ke Zetta!"

"Kamu emang belum move on beneran, Vian..." Satrio menggeleng. Bima bungkam. Mereka lupa, ada hal yang harusnya mereka bahas bersama Vian. Vian sempat mengatakan ini sebelum pingsan di UKS waktu itu. Perasaannya terhadap Bintang melebihi bayangan mereka.

Mereka mulai menduga.

"Kamu sayang Bintang, ya?" Bima bertanya pelan. Vian mengangguk spontan. Gigih bungkam.

"Vian, kami nggak masalah kamu mau sayang siapa. Kami tetep akan jadi sahabat kamu. Kami tetep akan dukung apapun yang baik buat kamu. Tapi kamu harus janji satu hal, Vian! Kamu nggak boleh menyakiti diri sendiri buat Bintang itu. Dia belum tentu kan peduli sama kamu!" Kali ini Gigih bersuara. Satrio dan Bima saling pandang. Bintang sangat peduli pada Vian. Sangat. Bahkan keduanya tahu betapa berharganya Vian untuk seorang Bintang dan juga seorang Zetta.

"Aku tahu. Aku butuh ketemu dia sekali lagi." Vian berbisik. Dia masih belum menyerah untuk bertanya pada Zetta soal keberadaan Bintang. Bahkan Vian juga sering menelepon Zetta malam-malam hanya untuk bertanya ini itu yang akhirnya pasti membahas Bintang.

Namun sekali lagi, Zetta enggan memberitahunya.

***

Malam itu, Vian kehilangan separuh kewarasannya. Dia sudah nggak bisa berpikir dengan rasional. Tangannya gemetar. Dia ingin menjerit saat ini, namun barang yang biasanya memberikan kekuatan lebih padanya sudah menghilang. Barang itu sudah menjadi candu tersendiri untuk Vian.

Malam itu juga, kakinya melangkah nggak tentu arah. Bima yang sedang tidur sambil mendengarkan musik nggak sadar kalau sejak tadi teman sekamarnya sudah menghilang. Vian berjalan dan mulai menyusuri jalanan kompleks yang sudah mulai sepi. Vian terus melangkah hingga sampai di depan kompleks.

Ketika dia sadar, dia sudah sampai di sebuah kosan. Vian pernah datang ke tempat ini sebelumnya. Hanya saja dia nggak pernah masuk karena ogah. Vian memutuskan berbalik kalau saja nggak mendengar suara pintu gerbang terbuka. Seseorang keluar dengan hanya memakai kaos dan boxer.

"Vian? Ngapain kamu di sini?" Cowok itu bertanya dengan nada kaget. Vian berbalik dengan wajah enggan.

"Kebetulan lewat aja."

"Yakin?"

"Iya! Aku mau balik sekarang."

"Nggak mau masuk dulu? Ini udah malem, kamu ngapain keluyuran? Yang lain?" Zetta bertanya dengan menggebu. Cowok itu hanya sedang kaget karena melihat Vian berjalan sendirian dengan wajah kalut.

Bintang di Kolong JembatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang