Bab 1; Halo Bekasi

2.2K 63 6
                                    

Sebuah Pajero Sport hitam dan truk berukuran sedang masuk beriringan ke dalam garasi rumah berhalaman luas, rumah itu adalah rumah terakhir dari deretan rumah yang tampak rapi. Dibanding dengan rumah lainnya, rumah itu tampak lebih sepi. Terasnya kosong melompong tanpa satu pun perabot menghiasi teras berlantai putih yang terkesan membosankan. Tidak heran jika rumah itu seperti satu-satunya rumput kering di padang yang hijau.

Salah satu mobil masuk ke dalam halaman, mobil yang lain menunggu. Garasi rumah itu hanya mampu menampung Pajero Sport. Truk menunggu sabar tepat di depan pagar cokelat berukir pedang di bagian tengah.

"Untung mama udah nyuruh Kang Firman untuk bersihin rumah ini." ujar seorang wanita paruh baya berambut panjang yang hanya dikuncir kuda. Wajahnya tampak sedikit lelah, gerak-geriknya agak risih karena kulit yang sudah terasa lengket.

Pintu penumpang terbuka, seorang gadis belia berkaus abu-abu dengan celana pendek cokelat turun dari mobil. Kedua matanya agak memicing ketika cahaya matahari yang terik menyinari wajahnya.

Seekor anjing jenis Siberian Husky menghambur keluar.

"Bruno," panggil gadis itu, tetapi anjing itu tidak menghiraukan. Ia berlari ke pojok halaman sembari mengendus-ngendus.

"Biarin aja, Bruno mau berkenalan dengan rumah baru," ujar wanita paruh baya santai

"Ternyata Bekasi itu lebih panas dari Bogor, ya? Baru dua puluh detik aja aku udah mulai keringetan lagi." Gerutu gadis itu.

Wanita paruh baya itu langsung melirik ke arah gadis itu, "kamu itu emang gak tau caranya menyambut rumah baru."

"Aku ini lagi menyambut rumah baru, Bu. Dan kota baru..."

Keduanya saling adu tatap, wanita paruh baya itu hanya menggeleng sinis.

"Sedikit panas gak apa-apa toh, Agatha. Benar kata Mamamu, kamu harus bisa menyambut rumah baru kita." Seorang pria paruh baya keluar dari pintu kemudi. Pria itu sedikit gemuk tapi memiliki senyum yang berwibawa.

Agatha cemberut tak terima, "lagian kenapa sih kita mesti pindah ke sini, padahal aku seneng-seneng aja di rumah lama. Udah kepalang punya banyak temen."

Pria paruh baya itu berjalan menghampiri Agatha, dengan lembut tangannya menggapai tubuh Agatha untuk diajak berjalan bersama menuju teras rumah. "Ayah tahu kamu agak kecewa, tapi kita memang harus pindah. Kasihan ibumu harus bolak-balik Jakarta-Bogor nantinya." Ayah Agatha melirik ibunya yang mengekor di belakang.

"Apa lagi dengan jabatan ibumu sebagai editor senior pasti akan menyita banyak waktu, bisa-bisa berangkat pagi pulang larut malam. Kamu tahu sendiri macetnya Jakarta kayak apa." Sambung ayahnya.

"Iya, iya. aku tahu deh ibu sekarang udah hebat, jadi editor senior di majalah politik yang punya reputasi baik di Indonesia. Ciee..." Agatha menoleh ke ibunya lalu menggodanya.

"Ih, kamu ini! jangan samain ibu sama temen-temen kamu, main ledekin seenaknya." Ibunya buru-buru mendahului untuk mencubit pipi Agatha lalu pergi ke pintu depan.

"Ih, sakit tahu!" bentak Agatha.

Ayahnya hanya bisa tertawa.

Agatha senang menggoda ibunya karena sejujurnya ia bangga dengan apa yang sudah dicapai oleh ibunya, di masa mudanya ia sudah menerbitkan lebih dari dua puluh novel yang keseluruhannya laris di pasaran. Bahkan ibunya memiliki pembaca setia, di tahun awal pernikahan ibu dan ayahnya pernah suatu kali seseorang pria menghampiri ibunya dan ngotot ingin foto bersama ibunya. Orang itu selalu mengatakan kepada ibunya bahwa ia adalah pembaca setia setiap novel yang ibunya tulis. Walaupun ibunya sudah berusaha menolak dengan berbagai alasan karena hari itu ia benar-benar lelah setelah perjalanan panjang untuk promo buku terbarunya. Namun, pria itu tetap memaksa hingga mau tak mau ibunya harus berfoto dengan wajah masam.

"Tapi, Yah. Kenapa kita beli rumah di Bekasi bukan di Jakarta? Ini juga kayaknya lumayan jauh dari kota." Tanya Agatha ketika mereka sampai di depan pintu.

"Uang ayah sama ibu terbatas, Agatha. Dengan uang segitu kalo di Jakarta cuma dapet apartemen, kalo tinggal di apartemen mau ke manakan tanaman ayah itu." Keluh ayahnya. Agatha mengangguk, ia tahu benar bahwa ayahnya begitu cinta akan tanaman. Koleksi tanaman langka ayahnya sudah berjumlah puluhan, belum lagi yang ia perjualbelikan di toko tanaman miliknya.

"Udah siap menyambut rumah baru kita?" ujar ibunya seraya memegang handle pintu yang sudah tidak terkunci. Agatha menoleh sebentar ke ayahnya, senyuman tampak di wajah ayahnya. "Siap!" seru Agatha. Ibunya kemudian mendorong pintu itu hingga terbuka lebar, mereka semua masuk. Agatha berdecak kagum karena bagian dalam rumah itu ternyata besar, di hadapan mereka tampak ruang tamu yang luas dengan sebuah kamar di sisi kanannya. Mereka kemudian masuk ke dalam, tepat di dekat kamar ada sebuah kamar mandi. Ketika Agatha menoleh ke kiri ia menemukan sebuah kamar lagi, ia berjalan memasuki kamar itu.


"Wah, ada kamar mandi dalamnya." Ujarnya pada dirinya sendiri. Telapak tangan Agatha menyentuh dinding kamar itu, terasa dingin, sama seperti udara di rumah itu. Agatha keluar dan menghampiri orang tuanya di kamar yang berada di sebelah kanan. Kamar itu lebih besar dari kamar yang baru saja Agatha masuki.

"Di kamar seberang juga ada kamar mandi dalamnya, Yah." Agatha berkata saat ayahnya sedang melihat-lihat kamar mandi.

"Cocok banget, ini kamar ibu sama ayah dan yang di seberang itu kamar kamu. Gimana?"


"Boleh juga, Bu. Kamarnya gak terlalu besar dan gak terlalu kecil, pas buat aku."

Tiba-tiba ayahnya berdiri di antara mereka, "lebih baik kita periksa semua bagian rumah dulu, ayah penasaran."

Mereka keluar dari kamar menuju bagian belakang, di belakang terdapat ruang makan yang menyatu dengan ruang keluarga berukuran sedang. Dapur ada di bagian kanan, dekat kamar mandi di ruang tamu. Dinding pemisah antara dapur dan ruang makan mempunyai lubang besar berukuran persegi panjang, mirip lubang tempat mengoper makanan di restaurant. Di dekat ruang ruang keluarga terdapat sebuah kamar lagi, luasnya mirip kamar yang berada di depan. Di dapur pun terdapat sebuah kamar kecil yang tampaknya dibuat untuk dijadikan kamar pembantu rumah tangga, dan sebuah kamar mandi kecil yang bersebelahan dengan sudut untuk meletakkan mesin cuci.

Kedua kaki Agatha menaiki satu per satu anak tangga beton menuju ke lantai dua, lantai dua rumah itu berbentuk unik. Polanya mirip angka satu Romawi yang membelah ruang tamu, di lantai dua ada tiga buah kamar berukuran sedang.

"Dulu yang tinggal di rumah ini punya anak berapa, sih? Kok kayaknya banyak banget kamar, di atas ada dua kamar sama satu kamar mandi." Kata Agatha begitu turun dari lantai dua.

"Liat sisi baiknya, nanti kalo kita ngadain acara bisa nampung banyak saudara. Jadi mereka gak harus bayar mahal-mahal untuk hotel." Balas ibu Agatha yang berdiri di ruang makan bersama ayahnya.

"Kamar di atas itu bisa kita jadiin gudang, dan kamar dapur bisa buat pembantu nantinya." Sambar ayahnya, "rumah ini emang sempurna buat kita."

Agatha hanya menatap ayahnya dengan senyuman geli, ternyata ayahnya bisa juga berlagak mirip sales properti.

Hari itu juga barang-barang mereka dimasukan ke dalam rumah, ibu Agatha tak pernah absen di sisi para pekerja yang memindahkan barang mereka. semua barang harus tertata seperti yang ia mau, di teras rumah ayahnya sedang asik berbincang dengan karyawan jasa pemidahan tanaman. Ayahnya tak akan membiarkan tanaman yang sudah ia rawat baik-baik rusak, karena itu maka ia menyewa jasa angkutan barang yang terpercaya. Mungkin besok tanaman milik ayahnya sudah sampai dan siap menghiasi teras dan halaman yang sudah haus akan sentuhan nuansa hijau yang menyegarkan.

Agatha hanya duduk di teras sambil memerhatikan para pekerja memindahkan barang mereka sedikit demi sedikit, ia juga bertanya-tanya akan seperti apa sekolahnya nanti dan teman macam apa yang akan ia temui di sana. apakah sama seperti teman-temannya di sekolah lamanya? Harusnya begitu.

Agatha tertawa kecilketika menyadari bahwa hari itu ia resmi menjadi penduduk komplek Jatisari yangtidak terlalu elit ini, lebih buruk lagi ia kini menjadi penduduk dari kota yangtak pernah sekalipun ia sadari keberadaannya. Kota itu bernama Bekasi.

The Haunted DiaryWhere stories live. Discover now