Matinya Tanaman Ayah

679 36 6
                                    

Keesokan paginya Agatha terbangun dengan sebuah suara ribut yang cukup mengganggu telinganya, ada suara Ayah dan Ibunya. Sebuah serangan fajar tengah terjadi di teras rumah, letak kamarnya yang berada paling depan membuat semuanya terdengar sangat jelas. Agatha berlari keluar kamar, jantungnya berpacu cepat, secepat ayunan kakinya.

"Mana mungkin kamu tidak tahu, kamu kan seharian di rumah." Bentak Ayahnya.

Bi Nur yang berdiri di hadapannya hanya bisa menunduk kaku bagai tertuduh pembunuhan yang sedang menerima keputusan mati, di sebelah Bi Nur tampak Ibunya berdiri melindunginya.

"Ada apa ini, Bu?" tanya Agatha.

Ibunya menoleh kepada Agatha, tanpa mengatakan apa-apa ia membimbim mata Agatha ke arah deretan tanaman langka milik Ayahnya.

Napas Agatha seakan putus saat itu juga, rahangnya melorot ketika melihat semua tanaman koleksi Ayahnya layu dan mati. Tidak ada yang tersisa, dari puluhan pot bermacam ukuran, keseluruhannya diisi oleh tanaman yang daun hingga batang merosot ke bawah dan menggantung seakan tanpa jiwa. Tidak satu pun dari mereka berdiri tegak seperti biasa.

"Saya sudah siram setiap sore seperti yang Bapak perintahkan," Bi Nur berbicara setengah menangis tapi tidak meredakan amarah Ayahnya.

"Kamu tahu berapa harga tanaman itu? Dibayar dengan nyawamu saja tidak akan cukup."

"Ayah! Cukup." Ibunya langsung memotong.

"Apa? Jangan bilang kamu mau bela dia?" Ayahnya menunjuk batang hidung Bi Nur.

"Bicara Ayah sudah keterlaluan, kasian Bi Nur." Nada suara Ibunya tidak kalah tinggi.

Agatha hanya berdiri di antara mereka seperti penonton opera sabun yang tidak punya andil apa-apa di dalam cerita, tugasnya hanya menyaksikan drama yang tengah disajikan.

"Atau jangan-jangan Ibu juga bersekongkol sama Bi Nur," tuduh Ayahnya, "menjaga rumah ini juga tugas Ibu, berarti ini juga salah Ibu."

Kini Ayahnya beralih ke Ibunya.

"Tidak ada yang tahu penyebab tanaman Ayah mati, tidak Ibu atau Bi Nur. Kami juga terkejut." Ibu menimpali Ayah.

Ayah menggeram hebat, matanya melotot seakan ingin keluar dari kelopak matanya.

"Ibu sudah mulai berani membangkang sama Ayah," suaranya menghilang berganti dengan ayunan tangan yang cepat.

"Ayah," panggil Agatha, ia lalu melesat untuk melindungi Ibunya. Hal itu berimbas ke tamparan Ayahnya yang telak mengenai pipinya, rasa perih dan panas mengerumuni pipi Agatha.

Ayahnya tampak terkejut, ada penyesalan di sorot matanya tapi ia tidak berkata apa-apa. Ayahnya masuk ke dalam rumah untuk mengambil kunci mobil lalu pergi dari rumah meninggalkan mereka yang masih dicengkeram oleh rasa takut.

"Kenapa Ayah bisa ganas seperti itu, Bu?" tanya Agatha tergagap-gagap.

Ibunya menggeleng, "ibu juga tidak tahu, Ayahmu itu orang yang lemah lembut dan penyayang. Sepertinya yang tadi itu bukan Ayahmu."

"Mari kita masuk, Non. Biar Bibi kompres Pipi, Non." Bi Nur berkata.

Agatha memegang Pipinya, terasa panas membara seperti terbakar. Tebakannya adalah pipinya pasti terlihat sangat merah.

Di dapur Bi Nur dengan telaten mengompres Pipi Agatha, sedangkan Ibunya masuk ke dalam kamar. Agatha tahu di dalam kamar Ibunya sedang menangis tersedu-sedu.

"Maafin Ayah ya, Bi." Agatha berkata dengan suara rendah.

"Bibi udah maafin Bapak kok, Non." Bi Nur berusaha tetap tersenyum walaupun pahit.

The Haunted DiaryWhere stories live. Discover now