a day like always

7.6K 442 8
                                    

SISI

Aku menggeliat dibalik selimutku. Udara dingin membuatku malas bergerak. Padahal sudah setengah jam yang lalu aku mematikan jam wekerku yang berdering. Aku berbaring menghadap jendela, menatap tetes hujan yang deras membasahinya. Aku menarik selimut lebih rapat menutupi leherku. Cuacanya benar-benar membuatku malas bergerak apalagi berangkat kuliah.

Aku memejamkan mataku sejenak, menikmati suara tetes hujan yang memanjakan telingaku. Aku mendengar suara pintu kamarku terbuka perlahan. Itu pasti Bunda. Aku memilih untuk tak bergeming, berpura-pura tidur. Sampai akhirnya aku mendengar suara teriakan yang memekakkan telinga. Aku bergegas menoleh dan ternyata aku terlambat menghindar.

"HIYAAAAAAAAAAAAATTTTTTTTT!!!", aku membelalakkan mataku menatap sosok yang melayang menghampiriku.

"BRUKKK!!!", tubuh Digo mendarat menimpaku.

"AAAAAAAAAAA!!! DIGOOOOOO!!!", teriakku dengan suara delapan oktafku yang khas.

"Hahahahaha! Hahahahaha! Bangun lo!", Digo tertawa jumawa dengan tubuhnya masih menduduki aku yang terbaring tak bisa bergerak karena tertahan berat badannya.

"Aaaaaaa! Digoooo! Minggiiiiiiiir!", teriakku sambil mendorongnya sekuat tenagaku.

"Hahaha! Bangun lo! Telat jangan ngajak-ngajak gue ya!", ucapnya masih sambil tertawa dan bergeser ke sisi ranjangku yang penuh dengan boneka Doraemon.

Aku menoleh menatapnya sambil meringis kesakitan. Mungkin aku tidak sadar, tubuh Digo sangat berat dengan otot-otot di sekujur badannya. Tubuhku terasa remuk ditimpa oleh kembaranku yang luar biasa jahil itu.

"Aduuuh, sakit nih pinggang gue! Ngga nyadar punya badan lebih gede dari gue?", omelku sambil menatap Digo yang sudah mengenakan seragam sekolah, kini bersandar di ranjangku sambil memain-mainkan salah satu boneka Doraemonku.

Digo lantas menolehku, mengangkat boneka Doraemon itu dan menghadapkannya kepadaku. Ia menyembunyikan wajahnya dibalik boneka kucing yang gembul itu.

"Ah, masaa? Iya sih, kamu kuyus banget Ciciiii. Tapiii, pipi kamu kok sama kayak akuuuuuu?", ucap Digo menirukan gaya bicara anak kecil sambil menggerak-gerakkan boneka Doaremon itu di depan wajahku.

"Hahahahaha! Hahahahaha!", tawa Digo menggelegar memenuhi kamarku tepat ketika aku menyentuh pipiku dengan tanganku sambil mengerutkan dahi mendengar komentarnya soal pipi chubbyku.

"Iiiiiiiiiiiih! DIGOOOOOOOO!!!", teriakku di sela tawa Digo yang belum reda.

Aku memukul lengannya berkali-kali, seperti yang biasa aku lakukan jika ia menjahiliku. Digo masih tertawa.

"Digo?! Sisi?! Ayo turun, sarapan. Nanti terlambat lho!", terdengar suara Bunda memanggil kami berdua.

"Bundaaaaaa!!! Digo niiiih!!!", teriakku mengadu pada Bunda.

Digo masih tertawa, ia menoleh dan mencubit sebelah pipiku dengan gemas lantas bangkit dari ranjang dan melempar boneka Doraemon itu ke arahku. Tawanya perlahan mereda seiring langkahnya meninggalkan kamarku.

"Buruan, tembem. Gue tinggal lo, nanti.", ancamnya sambil tertawa dan melangkah keluar dari kamarku.

***

Aku menyantap sarapanku dalam diam. Digo menggenggam setangkup roti di tangan kanannya sementara kedua matanya fokus menatap iphone di tangan kirinya. Mulutnya terus mengunyah roti isi selai coklat favoritnya sementara aku sibuk dengan butter dan roti tawar di piringku.

"Digo, habisin dulu sarapannya. Siapa yang ngajarin main hp di meja makan?", tanya Bunda.

Digo menatap Bunda sambil melempar senyum termanisnya. Senyum yang hanya tampak ketika ia sedang berusaha mengambil hati seseorang, meskipun jujur saja dengan parasnya yang tampan ia tentu dapat membuat siapapun menyukainya. Dia memang saudara kembarku yang menyebalkan, tapi entah kenapa si jahil itu bisa menjadi idola siswi-siswi di sekolah.

"Sisi yang ngajarin, 'Bun.", seloroh Digo asal, berhasil membuatku menatapnya sementara aku mengunyah rotiku dalam diam.

"Enak aja lo! Mana pernah gue main hp di meja makan?!", omelku dengan mulut penuh roti.

"Eh, udah-udah. Kalian ini, ribut terus. Bikin Bunda pusing. Ayo habisin sarapannya. Nanti kalian terlambat.", lanjut Bunda melerai aku dan Digo.

Digo membelalakkan matanya padaku. Aku hanya balas menatapnya jutek seperti yang biasa aku lakukan setiap ia membuatku kesal. Rupanya Bunda melihat adegan adu tatap antara aku dan Digo.

"Hei. Udah dong. Sisi, kenapa cemberut gitu sayang? Senyum dong.", kata Bunda sambil tersenyum menatapku.

"Ngga bisa 'Bun. Pipi aku sakit dicubit Digo, jadi ngga bisa senyum. Sakit pipiku.", jawabku sambil sedikit merengek.

"Hoo, bisa aja lo ngadu! Hahaha. Gitu aja sakit. Lebay! Hahaha!", sahut Digo sambil terus tertawa menggodaku.

Suaranya tawa Digo memancing tawaku yang akhirnya muncul juga melihat wajah Digo yang tampak jumawa mendengar kalimatku pada Bunda.

"Hehehehe!", kataku sambil memasang senyum lebar di wajahku.

"Dasar lo!", tambah Digo.

"Abisnya, lo sih. Sakit tau!", ucapku sambil merajuk.

"Hahaha. Bisa aje!", goda Digo lagi, lantas melempar gulungan tisu di tangannya ke arahku.

Tisu itu mengenai dahiku. Anehnya aku tidak lagi marah. Aku malah ikut tertawa dengan Digo. Entah menertawakan kalimatku yang lebay tadi, atau menertawakan Digo yang dengan kejahilannya mampu melunturkan kekesalanku padanya dengan mudah.

"Loh, kok becanda terus?! Nanti terlambat. Ayo habisin susunya.", ucap Bunda meredakan tawaku dan Digo yabg tak ada habisnya.

Suasana sunyi sejenak ketika aku dan Digo menghabiskan segelas susu hangat kami masing-masing. Aku bangkit berdiri, menyandang tas ranselku lalu menghampiri Bunda. Digo mencium tangan Bunda, lalu melangkah meninggalkan ruang makan dengan tas yang diselempangkan di bahunya. Aku berpamitan pada Bunda, lalu melangkah cepat menghampiri Digo yang kini tengah menyalakan mesin motor sportnya.

Tak lama kemudian aku sudah duduk di belakang Digo lengkap dengan helm menutupi kepalaku. Sesaat kemudian Digo melajukan motornya perlahan meninggalkan garasi. Aku memeluk erat Digo dengan tangan kiriku sementara tangan kananku melambai pada Bunda yang masih berdiri mengawasi kami dari pintu rumah.

"Daaaah, Bunda!", teriakku pada Bunda.

Digo membunyikan klaksonnya tepat sebelum kami melaju menjauhi rumah, menembus jalanan pagi yang ramai menuju sekolah kami.

***

TWINSWhere stories live. Discover now