a feeling?

2.1K 222 2
                                    

SISI

Satu minggu berlalu sejak Digo memulai PDKT nya dengan Mala, teman sebangkuku di kelas. Satu minggu pula aku dekat dengan Cliff, teman sekelasku yang juga suka membaca buku, sama sepertiku. Entah kebetulan atau apa, tapi saat Digo dekat dengan Mala aku juga dekat dengan Cliff. Mungkin itu yang dinamakan anak kembar. Atau mungkin, Cliff maupun Mala tidak akan bisa dekat dengan aku atau Digo karena hampir setiap waktu kami bersama-sama.

Digo sudah dua kali jalan dengan Mala, tentu saja membuatku senang. Sedangkan aku dan Cliff baru saja pergi ke toko buku kemarin sore sepulang sekolah. Rasanya aneh, tidak pulang sekolah dengan Digo. Tapi aku juga merasakan hal lain di hatiku. Mungkin ini yang dinamakan dengan jatuh cinta. Cliff mungkin tidak seperti Digo yang bisa membuatku tertawa dengan leluconnya. Tapi aku tak pernah kehabisan bahan pembicaraan dengan Cliff. Seperti hari ini. Hari Minggu ini aku habiskan dengan tenang di rumah. Aku sibuk chat dengan Cliff di ponselku, Digo seperti biasa di depan televisi dengan playstationnya. Minggu ini sedikit berbeda. Ayah sedang berada di rumah. Meninggalkan sejenak kesibukannya di London.

"Hei, what's wrong with both of you? Kenapa kalian sibuk masing-masing?", tanya Ayah dengan logat Inggrisnya yang kental.

Aku menurunkan ponsel dari hadapanku, dan mengalihkan pandanganku kepada Ayah. Aku dan Digo sempat bertukar pandang sejenak. Digo lantas meletakkan stik playstationnya dan bangkit duduk di sofa, di samping Ayah.

"Ngga ada apa-apa 'Yah. Kenapa?", tanya Digo.

"Kenapa kalian jadi sibuk sendiri-sendiri? I'm here. Kita seharusnya berbicara.", kata Ayah bule-ku yang selalu memaksa dirinya berbicara bahasa Indonesia.

Dia sangat cinta Indonesia sampai-sampai dia sendiri yang ingin dipanggil dengan Ayah, bukan Daddy.

"Sorry, Ayah. Kita ngga sibuk kok.", jawabku lantas duduk di samping Ayah dan bersandar di bahunya.

Ayah mengulurkan tangan dan mengusap puncak kepalaku.

"Mereka lagi dekat sama seseorang. Wajar mereka sibuk sendiri.", sahut Bunda yang muncul dari dapur dengan baki berisi cangkir kopi milik Ayah.

"Really? Jadi kalian punya pacar sekarang?", tanya Ayah sambil tersenyum menatap aku dan Digo bergantian.

"Bukan. Bukan pacar kok. Bunda bisa aja.", seloroh Digo.

"Ya, belom aja kali. Masih PDKT.", jawab Bunda sambil tertawa kecil.

"P-D-K-T ?", ucap Ayah terbata-bata.

"Pendekatan.", jelas Bunda, lalu disambut tawa Ayah yang menggelegar.

"Well, I think it's time. Sudah waktunya. Kalian sudah remaja. Sudah dewasa.", kata Ayah lantas menyeruput kopi dari cangkirnya.

"Jadi Ayah ngijinin kita pacaran?", tanyaku pada Ayah.

"Sebenarnya Ayah tidak mau kasih ijin pacaran. Tapi, yah, mau bagaimana lagi. I can't tell you to not falling in love, right? Jatuh cinta adalah anugerah dan tidak bisa kita pilih, mau cinta dengan siapa.", jelas Ayah penuh romantisme membuatku dan Digo tak kuasa menahan diri menggoda Bunda yang duduk tak jauh dari kami.

"Si Ayah, tiba-tiba romantis.", seloroh Bunda sambil tersipu.

"Hahahahaha! Hahahahahaha!", aku, Digo dan Ayah menyambutnya dengan tawa.

"Sudah, sudah. Kalian kembali sibuk lagi saja. Ayah mau pacaran dengan Bunda dulu, ya. Hahaha.", ledek Ayah yang kemudian bangkit dari sofa dan melangkah menuju taman belakang rumah diikuti Bunda.

Taman itu memang menjadi tempat favorit Ayah untuk bersantai atau bertukar pikiran dengan Bunda setiap Ayah sedang pulang ke Indonesia.

***

TWINSWhere stories live. Discover now