Bagian Sembilan: Gemblak

10.8K 1K 259
                                    

Saya percaya, budaya dan cinta itu bersinggungan. Seperti dua mata angin, yang dipandang berlawanan namun menjadi petunjuk yang sama. Arah.

***

Akhir-akhir ini mimpi warok Sumitro juga semakin aneh. Mimpi itu berlanjut. Terus begitu. Dalam mimpinya, warok Sumitro bersama seseorang. Bukan wanita lain maupun istrinya. Orang itu punya jakun. Punya mata bulat besar seperti rembulan. Bibirnya tipis berwarna merah alami. Ada lesung pipi di kedua pipinya. Hidungnya mancung, mungil dan dibingkai alis tebal di atas mata.

Warok Sumitro tahu, siapa yang sedang bermain-main dalam mimpinya itu. Kali pertama beliau menatap bocah kecil berusia sepuluh tahun itu, perasaannya tumbuh membuncah aneh begitu saja. Dulu warok Sumitro masih mencoba menahan rindu kalau anak itu tidak berkunjung. Beliau hanya mampu memeluk Aji dalam pelukannya, menggandeng jemari kecil anak itu, atau sesekali menggendongnya. Namun sekarang... aneh, sangat aneh. Rasa itu meluap nista, membumbung antara prinsip dan ideologinya sebagai seorang warok.

Hari itu warok Daus dan yang lain datang mengunjungi warok Sumitro. Ada beberapa hal yang ingin mereka diskusikan dengan beliau. Hal ini berhubungan dengan curhatan warok Sumitro tentang mimpi-mimpinya akhir-akhir ini. Juga soal hal lain.

"Mungkin njenengan lagi dalam fase puber, kang..." Warok Dasuki berbisik. Warok Sumitro terpekik.

"Masa iya puberku terlambat? Dari dulu aku juga sudah mengalami yang namanya fase-fase itu!" keluh warok Sumitro kesal. Warok lainnya masih curiga. Apalagi ketika mereka tahu apa yang terjadi selama tiga lima tahun belakangan ini. Mereka tahu perihal bocah tampan yang sering berkunjung tiap pagi hingga tembus sore itu.

"Maaf, ya sebelumnya kang... Kalau saya nggak salah, nih... tolong koreksi kalau memang saya salah. Apa mungkin njenengan ini sedang jatuh cinta?"

Warok Sumitro terpekik. Cinta? Ajaran darimana itu? Dirinya sudah kukuh oleh prinsip yang menolak segala macam hal seksual dengan wanita. Lagipula, kedua istrinya nganggur begitu. Dulu warok Sumitro pernah mengusulkan perceraian. Beliau hanya kasihan karena kedua istrinya tidak dicukupi nafkah batinnya. Akan tetapi kedua istri beliau menolak, dan mengikrarkan diri mereka untuk sepenuhnya mengabdi pada sang warok hingga ajal menjemput.

Mungkin itu semacam balas budi, warok Sumitro tidak begitu peduli. Hanya saja akhir-akhir ini beliau sedang memikirkan banyak hal. Kalau orang-orang berpikir pada era modern tidak ada lagi ilmu-ilmu kanuragan, maka mereka salah. Ilmu itu masih tetap ada, dijaga oleh pemiliknya meskipun tidak tenar seperti dulu. Sudah tahu ada santet? Tahu ada guna-guna? Lalu paham soal jin? Kenapa tidak percaya dengan ilmu kanuragan lainnya?

"Aku jatuh cinta sama siapa?"

"Yakin kakang tidak jatuh cinta? Coba pikir lagi, kang. Akhir-akhir ini kami sudah bicara soal ini. Maaf kalau njenengan belum tahu, tapi kami memang harus mendiskusikannya."

Warok Sumitro bungkam.

"Kami yakin kakang masih ingat soal ajaran dan tradisi yang dibawa oleh Ki Ageng Suryongalam." Lagi-lagi warok Daus bersuara. Ah, ya.. siapa yang tidak tahu soal tradisi dari Ki Ageng Suryongalam?

Dahulu warok dikenal mempunyai banyak Gemblak. Istilah ini disebut Gemblakan. Gemblak adalah anak lelaki berusia 12-15 tahun yang berparas tampan dan terawat yang dipelihara oleh seorang warok. Gemblak lebih disayangi dibanding istri dan anaknya. Memelihara gemblak adalah tradisi yang telah berakar kuat pada komunitas seniman reog. Bagi seorang warok, hal tersebut adalah hal yang wajar dan diterima oleh masyarakat. Warok akan kehilangan kesaktiannya ketika berhubungan seksual dengan wanita, karena itulah mereka mengangkat seorang gemblak.

Mencari GemblakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang