Bagian Dua Belas: Sinoman

10.4K 1K 192
                                    

Saya percaya, cinta itu cinta.

***

Mbah Sumitro terusik. Apalagi ketika bocah miliknya menapakkan kaki dalam ruang latihan pribadinya tersebut. Beliau tercenung kaget saat mendapati bocah tampan itu sudah siap untuk berlatih. Dia membawa banyak barang, mulai dari topeng milik Raga, selendang dan kuda-kudaan milik penari jathil, juga sebuah cambuk.

"Kamu itu, lho.. kok ya semangat sekali yang mau latihan?" Warok Sumitro bertanya tidak suka. Bukan berarti beliau membenci apa yang Aji lakukan, hanya saja warok Sumitro sedang enggan serius. Dia ingin bermesraan saja dengan bocah menawan itu. Ingin mengobrol panjang lebar, ingin mendengarkan cerita anak itu.

"Biar cepet ahli, ndoro..."

Warok Sumitro mengernyit.

"Lalu kenapa bawa barang-barang itu? Kamu mau jadi yang mana, cah bagus? Mau jadi Bujang Ganong, atau mau jadi jathilannya, atau bahkan Raja Klonoswandono? Tapi ndak mungkin kamu jadi Raja Klonoswandono. Kamu masih terlalu kecil untuk itu, le..."

"Aji mau jadi apa saja, ndoro... Asalkan ikut menari." Bocah manis itu meletakkan properti yang dia bawa, lantas tersenyum pada ndoro-nya. Warok Sumitro masih enggan. Mengajari Aji secara eksklusif memang menyenangkan, namun beliau adalah orang yang sangat keras akan latihan. Bahkan tidak segan-segan memberikan hukuman kalau sampai ada kesalahan. Beliau tidak pernah main-main dalam hal seni dan budaya.

Warok Sumitro hanya tidak ingin melukai bocah kesayangannya ini. Namun tetap saja, Aji tidak pernah mundur akan keinginannya. Aji tidak pernah meminta sesuatu, namun kali ini untuk pertama kalinya bocah berusia lima belas tahun itu kembali memaksa.

"Mau jadi Bujang Ganong latihannya lebih keras, lho! Kamu harus bisa bergerak lincah, juga harus tahan sakit kalau keseleo."

Aji mengangguk setuju.

"Apa kamu mau jadi jathilannya? Nanti ndoro beri jatah untuk pertunjukan khusus kamu, cah bagus. Pertunjukan solo."

Aji mengerjap.

"Boleh, ndoro?"

"Jadi, ngaku! Kamu maunya jadi jathilan, kan?" Warok Sumitro tersenyum. Aji menunduk malu, lalu mengangguk cepat. Hari ini dia bisa latihan. Warok Sumitro menarik tubuh anak itu dalam dekapannya dan berbisik.

"Duh, cah bagus... nanti ndoro-mu ini akan sering membentak, bahkan tidak jarang bisa memukul dan menghukummu. Apa kamu akan memaafkan ndoro-mu ini, le?"

Aji terpekur, lalu lengannya memeluk tubuh warok Sumitro dengan sayang. Dia ingin sekali tinggal sebentar saja dalam pelukan warok tua ini.

"Aji siap, ndoro. Aji juga lelaki. Aji juga harus dibentak, dimarahi, dan juga dipukul."

"Tapi ndoro-mu ini kok ya ndak tega ya cah bagus..."

Aji menggeleng kencang dalam pelukan warok Sumitro. Jemarinya menggenggam baju warok gagah tersebut lalu tersenyum.

"Aji tahu kalau ndoro akan tetap sayang Aji meski harus marah-marah."

Hati warok Sumitro menghangat. Melatih seorang penari tidak mungkin sebentar. Mereka juga harus siap dalam fisik dan mental. Aji tersenyum, membayangkan kalau ndoro waroknya yang akan mengajari secara eksklusif.

Setelah itu, semuanya dimulai.....

***

"Kakimu! Kakimu!" Warok Sumitro berteriak lantang, suaranya membahana dalam ruangan. Aji terkejut saat mendengar suara kencang ndoro-nya. Aji mengangguk patuh, lalu membenarkan posisi kakinya.

Mencari GemblakOù les histoires vivent. Découvrez maintenant