4

3.1K 298 7
                                    

      4

"Sebenarnya kau bisa mengatur bunga atau tidak, hah?!" seru seorang wanita tua kurang ajar yang sudah sekitar lima belas menit memarahi Lisa.

"Aku minta maaf, aku benar-benar minta maaf.." Lisa terus mengucapkan permohonan tersebut, hingga membuatku berdecak muak.

"Kau harus mengulanginya dari awal! Dan aku akan mengambilnya jam sembilan!" Nada wanita itu meninggi.

"Maaf, ma'am. Ya, aku akan segera memperbaikinya. Aku sangat menyesal,"

Aku marah.
Tapi tidak berbuat apa-apa. Aku hanya menontoninya dari luar, mengutuki wanita itu dengan segala perkataan kotor di benakku. Aku benar-benar harus menahan diri.

Setelah wanita tua itu pergi, aku menyelinap masuk ke dalam rumah kaca. Tanpa sapaan Tanpa suara.

Tampak Lisa mengambil buket bunga yang diprotes itu dari atas tanah yang kotor, kemudian mengambil bunga-bunga serupa dari pot. Aku hanya mengamatinya, tanpa berbuat apa-apa.

Hatiku kacau, pikiranku berkecamuk. Aku marah tapi tubuhku tidak bergerak. Karena aku begitu kaku, canggung menghadapi sesuatu yang bukan bagian dari persoalanku.

Hari sudah mulai senja, Lisa membereskan segalanya, lalu keluar dari rumah kaca. Aku selalu mengikuti beberapa meter di belakang ataupun di sampingnya.

Cklek. Ia mengunci pintu rumah kaca itu.

Aku menyenderkan punggungku pada mobilku yang terparkir agak jauh dari rumah kaca. Mataku terus mengawasi Lisa yang susah payah. Tangan kirinya memegang keranjang bunga, tangan kanannya memegang tongkat.

"Waktunya pulang.. Aku harus memperbaiki buket malang ini. Selamat sore rumah kaca!" bisiknya riang.

Aku tersenyum kecil, lalu masuk ke dalam mobil.

         Ini perilaku terbodoh yang pernah kuperbuat. Mengikuti gadis buta yang berjalan sambil meraba-raba dengan tongkatnya, sementara aku sendiri berada di dalam mobil yang nyaman.

Ia terlalu waspada, pikirku. Aku tidak mau menyelesaikan pertemuan hanya karena kecerobohanku sendiri.

         Belum jauh ia berjalan, tiba-tiba segerombolan anak kecil menyenggolnya, hingga membuat buket bunga itu jatuh. Tangkai-tangkai bunga pun berjatuhan.

"Kau buta ya? Jangan berkeliaran di tengah jalan. Mengganggu, tahu!"

"Maaf.. Aku minta maaf.." ucap Lisa gelisah. Ia merendahkan tubuh perlahan, tangannya mulai meraba jalan. Mengambil bunga-bunga yang berserakan.

"Maaf.." ia mempercepat gerakanya, hingga semua hampir terkumpul kembali. "Maaf aku mengganggu jalan sebentar, maafkan a-"

        "Sampai kapan kau mengucapkan maaf?!" Amarahku meledak. Aku membantunya berdiri dengan kasar. "Apa kau kehilangan akal sehatmu? Jelas-jelas anak itu yang sengaja membuat keranjangmu jatuh, tapi malah kau yang minta maaf!"

"A..aku tidak tahu.." Air mata gadis itu mengalir. Aku segera sadar dengan tingkah kasarku, perlahan aku melepas cengkraman itu.

Aku menghela napas panjang, menatap langit gelap dengan perasaan campur aduk. "Berhentilah meminta maaf."

"Aku.. Aku akan terus mengatakan hal itu jika memang harus!" tukasnya dengan pipi basah.

"Kau bodoh!" emosiku kembali.

"Kau tidak mengerti apa yang kurasakan! Oh, tentu. Kau tidak akan mengerti, karena kau bahkan belum mengenalku. Dan aku tidak mengenalmu!" Ia menangis. "Aku sudah dimarahi seharian. Dan sekarang aku dimarahi karena minta maaf! Aku tidak tahu kenapa semua yang aku perbuat salah di mata semua orang!" tangisnya makin menjadi.

       Kini rasa bersalah menimpaku. Tangisnya membuat hatiku semakin kacau. Aku bukan jadi pembelanya, tapi malah jadi penghancur hatinya. Bodoh. Ya, aku yang bodoh.

"Aku salah," kataku pada akhirnya. "Berhentilah menangis.."

         Ia menolak sentuhanku yang mencoba membantunya berjalan. Ia mempercepat langkah lurus ke depan, tongkatnya mengetuk-ngetuk jalan lebih keras. Meninggalkanku.

MOMENTO | √Où les histoires vivent. Découvrez maintenant