BAGIAN 8. LAMARAN UNTUK PUJAWATI

715 61 2
                                    

(Ilustrasi: Dewi Pujawati, dalam versi pewayangan Jawa.)


Setibanya di pertapaan Argabelah, Narasoma pun tersadar dari pingsannya. Ketika dia membuka mata, dia ternyata berada di atas kasur besar dalam sebuah kamar yang sederhana. Serentak dia bangkit terduduk dan melihat seorang gadis cantik yang tengah duduk di ujung kamar, dengan membawa nampan berisi segelas minuman, sepiring makanan dan buah-buahan. Gadis cantik itu pun tampak ketakutan melihat gestur dan ekpresi wajah Narasoma yang tampak marah. Menyadari bahwa di kamar itu hanya ada mereka berdua dan tanpa ada Resi Bagaspati, Narasoma mencoba menahan amarahnya sambil menenangkan diri walau tetap waspada. Lalu dipanggilnya gadis itu, yang berpenampilan sederhana seperti pelayan.

"Wahai gadis, jangan takut dan kemarilah! Maukah kau menolongku untuk lari dari rumah raksasa ini?" ucap Narasoma. "Nanti aku akan memberimu banyak hadiah, ketahuilah bahwa aku adalah seorang pangeran."

Gadis itu terdiam sejenak, lalu perlahan bangkit berdiri dan mendekat sambil membawa nampan kepada Narasoma. Setelah dekat Narasoma memandang gadis itu dan terpesonalah dia melihat betapa cantiknya gadis itu seperti bidadari kahyangan, walau tanpa riasan, perhiasan dan busana mewah yang seringkali dilihatnya bila bertemu para putri dari berbagai kerajaan.

Gadis itu berkata, "Baiklah, Pangeran. Saya akan membantu pangeran, tetapi sebelumnya silakan Pangeran beristirahat dahulu sambil minum dan makan sekedarnya."

Narasoma menggeleng sambil berkata, "Aku tidak punya waktu, raksasa itu memintaku untuk menikahi putrinya. Aku tidak mau menikahi raksasa wanita yang jelek. Bahkan aku justru sedang diusir dari istana karena tidak mau menikahi putri-putri raja yang dijodohkan padaku, yang sudah pasti jauh lebih cantik dari anak raksasa itu."

Gadis itu termenung sejenak, lalu berkata, "Tapi pertapaan ini berjarak sangat jauh dari desa terdekat, Pangeran akan membutuhkan banyak tenaga untuk perjalanan nanti. Bila tidak Pangeran akan mati kelaparan atau kehilangan tenaga bila ditangkap kembali oleh ... ehem ... raksasa itu."

Setelah menimbang sejenak dan merasakan bahwa perutnya kelaparan karena sudah lama tidak menemukan makanan di hutan, Narasoma pun mengangguk sambil berkata, "Baiklah kalau begitu. Tapi tolong kau awasi pintu kamar dan bila raksasa itu datang kemari membawa anaknya, aku akan segera lari menerobos jendela."

"Baiklah, Pangeran," jawab gadis itu sambil meletakkan nampan berisi makanan di atas kasur.

Narasoma pun segera makan dengan lahap karena kelaparan sementara gadis itu berjaga-jaga mendengarkan suara di pintu kamar. Beberapa kali Narasoma sambil makan mencoba mencuri pandang menatap gadis cantik itu dan rasa ketertarikan pun muncul di kepalanya.

"Siapakah namamu?" tanya Narasoma. "Tidak usah segan, bicaralah padaku. Aku tidak akan menyakitimu apalagi kau sudah berjanji akan menolongku. Dan aku juga akan menolongmu lari dari pertapaan ini bila nanti kita berhasil kabur."

Gadis itu terdiam sejenak, kemudian menjawab, "Nama saya Pujawati, Pangeran. Benarkah Pangeran bernama Narasoma?"

"Benar, Pujawati. Apakah raksasa itu yang memberitahumu?"

"Emm... benar, Pangeran Narasoma," Pujawati menjawab agak tergugup.

"Kau jangan takut padaku, Pujawati. Aku ini sama-sama manusia sepertimu, jadi tidak akan menyakitimu apalagi memakanmu seperti para raksasa itu," bujuk Narasoma. "Apakah kau yang memasak makanan ini? Sepertinya tidak mungkin tapi aku sangat heran bisa menemukan makanan kesukaanku di pertapaan yang letaknya jauh di tengah hutan seperti ini. Rasanya sangat lezat seperti masakan ibuku di istana."

Wajah Pujawati memerah menampakkan ekspresi senang walau sambil tertunduk, lalu menjawab, "Iya, aku yang memasaknya, Pangeran. Terimakasih atas pujiannya walaupun tentunya masakan istana sebenarnya jauh lebih lezat dan mewah. Mungkin Pangeran memang dalam kondisi sangat lapar karena sudah lama belum makan setelah menempuh perjalanan jauh."

"Iya, mungkin kau benar, Pujawati. Tetapi jujur aku bisa makan masakan lezat seperti ini setiap hari seumur hidupku, dibanding masakan juru masak istana yang seringkali terlalu berlebihan dan hanya mengutamakan kemewahan."

Pujawati semakin tertunduk menyembunyikan ekspresi kebahagiaan dan senyum di wajahnya. Narasoma tidak memperhatikan karena sibuk melahap makanan yang disajikan Pujawati.

"Pujawati, bila kita bisa pergi sama-sama dari pertapaan ini, maukah kau ikut bersamaku ke istana Mandaraka?" tanya Narasoma tiba-tiba. "Kau bisa memasakanku makanan setiap hari atau membuat masakan bersama ibuku, pasti rasanya sangat enak."

Pujawati tersentak sejenak mendengar permintaan itu namun dia hanya diam tersipu tanpa menjawab.

Narasoma menatap Pujawati, lalu membujuk lagi, "Ayolah, Pujawati. Apakau kau lebih memilih untuk tinggal di sini dibanding di istana? Apalagi gadis secantik dirimu tentunya akan memikat para ksatria yang datang ke Mandaraka. Aku yakin itu, seorang ksatria akan memperistrimu bahkan kau bisa menjadi permaisuri suatu hari nanti."

Pujawati termenung sejenak, kemudian berkata, "Terimakasih, Pangeran, tetapi bukan maksudku berkata lancang atau kurang sopan pada maksud Pangeran yang sangat mulia bagiku yang sudah lama hidup sederhana di pertapaan. Sesungguhnya pun aku hanya ingin menjadi istri dari seseorang yang sangat kucintai dan sangat mencintaiku, siapa pun dia dan apa pun kastanya. Kepadanya akan kuserahkan seluruh hidup dan bahkan nyawaku karena tidak akan mungkin aku mampu hidup tanpa dirinya sebagai pasangan abadiku."

Narasoma tertegun mendengar perkataan Pujawati yang bermakna sangat dalam dan begitu puitis tersebut. Mengingatkannya pada sosok Madrim, adiknya, yang sering menasihatinya dengan perkataan penuh makna sedalam puisi sesuai kesukaannya.

Narasoma memandang lekat-lekat Pujawati agak lama, terpesonalah dia melihat paras cantik nan menawan dalam tampilan penuh kesederhanaan. Masih terasa di lidah dan perutnya makanan kesukaannya yang dimasak Pujawati, begitu lezat dan nikmat seperti masakan ibunya yang membuatnya merasa seperti berada di rumah. Dan tutur katanya yang sangat halus dan penuh makna seperti puisi dan nyanyian, mengingatkannya pada adik tersayangnya, Dewi Madrim. Narasoma pun akhirnya menyadari bahwa dia telah menemukan jodoh yang selama ini dicarinya, bukanlah seorang putri raja melainkan hanya gadis biasa yang hidup sederhana di pertapaan.

"Kalau Pangeran sudah selesai makan, bolehkah aku segera membereskan alat makannya dari tempat tidur Pangeran?" ucap Pujawati yang mulai merasa jengah diperhatikan terus, membuat Narasoma tersentak dari lamunannya. Narasoma hanya menjawab dengan anggukan. Pujawati pun dengan cekatan membereskan alat makan bekas Narasoma dan merapikannya, dengan setiap gerak-geriknya diiringi tatapan Narasoma yang terpesona melihat kerapian Pujawati.

Narasoma beringsut perlahan dari kasur lalu mendekati Pujawati. Dengan canggung dan malu, sesuatu yang belum pernah dirasakannya semasa hidupnya, Narasoma menatap Pujawati sambil berkata, "Pujawati, aku benar-benar terpesona kepadamu walau baru beberapa saat ini aku mengenalmu. Maafkan aku bila mencoba lancang untuk meminta sesuatu padamu, tetapi aku benar-benar tidak bisa menahan keinginanku yang selama ini terus-menerus menjadi pertanyaan besar di hatiku."

Narasoma menarik nafas sejenak, lalu diiringi tatapan Pujawati yang tampak keheranan, dia berlutut dan berkata, "Pujawati, maukah kau ikut bersamaku ke istana Mandaraka dan menjadi istriku? Aku sungguh merasa bahwa engkaulah jodoh yang selama ini aku cari-cari ke pelosok negeri. Dan aku akan mencintaimu sedalam aku mencintai ibuku serta bertanggung jawab sepenuhnya kepadamu seumur hidupku seperti aku sangat menyayangi adik perempuanku."

Pujawati sangat terkejut, namun tidak dapat menyembunyikan kebahagiaannya, matanya pun mulai berkaca-kaca. Narasoma masih berlutut menanti jawaban Pujawati.

Pujawati pun akhirnya menjawab, "Maafkan aku, Pangeran Narasoma. Tetapi bila pangeran benar-benar ingin menikahiku, Pangeran harus meminta izin terlebih dahulu pada ayahku."

Narasoma pun sumringah sambil berkata, "Tentu, Pujawati. Dimanakah ayahmu berada? Aku akan segera menemuinya begitu kita bisa lari dari pertapaan ini."

Pujawati mendesah pelan, lalu menjawab, "Ayahku ada di sini, Pangeran. Beliau adalah pemimpin pertapaan Argabelah ini, Resi Bagaspati."

MAHACINTABRATA SUKMA WICARA PART II (CINTA MATI DEWANATA)Where stories live. Discover now