"Keping Kedua"

10.3K 1.1K 173
                                    


"Keping Kedua"




"IH APA SIH, RATHAN. GUE DULUAN YANG DAPET!"

"Dhira berisik."

"Lo!"

"KALIAN BERISIK, TOLONG!"

Dhira, yang pertama kali memulai kebisingan, lalu disusul Rathan, kembali lagi ke Dhira, dan terakhir ditutup oleh Aruna.

Mata Aruna memandang barisan tulisan di papan tulis. Bibirnya komat-kamit seperti tukang sihir yang melafalkan mantra. Tanpa perlu corat-coret sana-sini, tangannya segera mengacung dengan cepat untuk menyampaikan jawaban di otak.

"X KURANG DARI SAMA DENGAN SATU, ATAU X LEBIH DARI SAMA DENGAN MIN TIGA, BU!" Baik Aruna, Rathan, dan Dhira, ketiganya menjawab dengan serempak. Wanita yang berdiri di depan meja, lantas menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan muridnya itu. Guru mana yang tidak stress bila harus berhadapan dengan tiga murid hiperaktif seperti mereka? Senang sih senang, tapi kewalahan sekali karena mereka selalu 'meminta' dikasih makan soal-soal baru.

"Aduh, Ibu pusing deh sama kalian. Sumpah." Wanita itu menggeleng-gelengkan kepala. Bola matanya memutar sebal. Sebagai guru honorer yang baru memiliki satu anak, Bu Airi memang cocok dikategorikan sebagai 'guru gaul'. Lihat saja cara bicaranya yang lebih condong ke arah remaja pada umumnya. Meski jelas, gaya berpakaian tak mendukung tutur kata.

"Bu, jawabannya bener, 'kan?"

"BU SOAL LAGI, BU. INI ASIK BANGET YA AMPUN."

Rathan dan Dhira saling bersahut-sahutan. Wanita yang dipanggil "Bu" itu pun mengembuskan napas hingga bersuara. Aruna terkekeh melihat ekspresi gurunya itu. Dari raut wajah wanita itu, bisa dipastikan dengan jelas kalau ia sungguh-sungguh kewalahan.

"Kalian itu dulu orangtuanya makan apa, sih?" Ada cengiran di wajah Bu Airi. "Ya ampun, untung aja sekolah ini pake sistem acak kelas tiap tahun. Kalau Ibu ngajar kalian lagi dalam satu kelas, dua tahun kemudian mungkin muka ibu udah keriput kayak nenek-nenek." Ucapan itu disambut gelak tawa oleh Rathan dan Dhira, begitu pula Aruna.

"Yah, Bu. Kita pisah dong."

"YES! GUE NGGAK KETEMU LU LAGI." Dhira menoleh ke arah Rathan.

"Bu, jadi Ibu bakal ngajar kelas sebelas lagi? Seriusan, Bu? Mie goreng enak, 'kan Bu? YES. Mampus lu gue diajar Bu Ai lagi."

Lagi, suara itu kembali berseru saling bersahutan seperti petasan mercon di malam tahun baru. Jawaban pertama disahut dari mulut Aruna, lalu disusul Dhira, dan yang paling terakhir oleh Rathan yang mengaku sebagai jagoan-segala-jenis-hitung-hitungan.

"Yah, Bu. Kalau Bu Ratih bakal ngajar kita lagi, nggak?"

"Kimia tetep sama Bu Tari, 'kan Bu?"

"BU AI BESH. UDAH BU NGAJAR DI SEPULUH IPA LIMA AJA TERUS. KITANYA NGGAK USAH NAIK KELAS, BIAR DIAJAR IBU TERUS."

Wanita itu mengurut-ngurut kepalanya. Empat jam pelajaran berada di kelas 10 IPA-5, sama dengan pintu-neraka-terbuka-menjemputnya. Kalau kau bertanya siapa yang mengatakan kalimat di atas, maka orangnya masih tetap sama, hanya saja susunannya yang berbeda. Sahutan pertama diucapkan oleh Aruna, kedua Rathan, dan sudah bisa dipastikan kalau yang paling bersemangat itu adalah Dhira.

"Ibu heran sama kalian. Liat tuh temen-temen kalian. Mereka itu masih normal gitu. Masih kayak bocah-bocah SMA yang liat buku pelajaran aja udah enek. Kalian ... ya ampun. Ibu malah ngarep nggak ngajar kalian bertiga lagi dalam satu kelas kayak gini."

[ON HOLD] Di Balik KulminasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang