"Keping Kesebelas"

4.1K 542 144
                                    


"Keping Kesebelas"




Ada niatan amat besar dalam diri Aruna, hanya saja kontradiksi dengan rencana kehendak itu sendiri, gadis itu hanya mematung sambil berpikir panjang di ambang pintu.

Matanya terawang mengintip sebagian langit yang tersibak dari balik pintu yang membuka. Tangannya yang menggenggam sebutir obat lengkap dengan bungkusnya, mengepal erat untuk meyakini pilihan mana yang seharusnya ia ambil.

Berbalikkah, atau tetap berjalan saja dan kembali ke dalam kelas?

Ada banyak pertimbangan-pertimbangan kecil yang berkelana di dalam pikiran Aruna. Dan meskipun risiko yang ditimbulkan akan lebih besar karena guru yang bakal masuk ke dalam kelasnya detik ini adalah guru yang tidak toleransi terhadap keterlambatan masuk kelas, ia lebih memilih untuk mengambil opsi yang kedua saja.

Obat dalam jemari Aruna dimasukkan ke dalam saku, dan gadis itu berbalik untuk menghampiri salah satu ranjang yang terletak tepat di dekat dinding paling ujung ruang UKS.

"Hay?" Aruna menyapa canggung. Seorang gadis yang tengah duduk di atas ranjang sambil meremas perut, kini telah menghadap sempurna ke arah Aruna. Ada banyak pilihan kata dalam otaknya dan Aruna sendiri sudah kehabisan akal untuk memilih pertanyaan mana yang paling normal. Kamu sakit? terlalu freak. Ada yang bisa saya bantu? terlalu formal. Di mana Aruna yang selalu percaya diri untuk mengutarakan pikirannya?

"Lu sakit apa?" Pada akhirnya pertanyaan spontan itu terlontar begitu saja tanpa aba-aba. Aruna pernah membaca sebuah buku bahwa terkadang, percakapan yang tidak direncanakan malah lebih berbobot karena bersifat spontan dan tidak penuh kepura-puraan. Mungkin dalam hal ini, ia hanya perlu bersikap spontan seperti biasa tanpa perlu membuat plan-plan aneh untuk menghadapi sebuah percakapan yang mengalir.

Gadis itu memejamkan mata sejalan dengan bagaimana ia meremas erat sebelah kiri perutnya. Ada ringisan kecil dari bibirnya yang agak penuh di detik yang sama dengan perlakuan mata dan remasan di perut. Rambut ikal yang panjang terjuntai ke depan menutupi sebagian pipi kanannya. "Perut gue sakit banget, sumpah.... Gue juga nggak tau kenapa."

Jeda beberapa milidetik bagi Aruna untuk berkelana dalam pikirannya. "Udah makan?" Dan ketika mendapat sebuah gelengan yang menjadi jawaban dari pertanyaan itu, Aruna bertanya lagi. "Udah minum obat? Promag? Lu ada emang maag gitu apa baru pertama kali ngerasa kek gini?"

Gadis itu meringis lagi. "Baru kali ini sih. Tadi temen di kelas gue udah ngasih obat. Cuma masih sakit aja. Tadinya gue mau beli makan sendiri, tapi nggak kuat jalan gara-gara perut gue sakit banget." Tangannya masih sibuk untuk meremas perut. Ada getar berlebihan dalam nada bicaranya itu yang bisa mengarah pada kesimpulan, antara ingin menangis atau lemas karena belum sarapan pagi.

"Lu suka apa? Suka ayam atau apa?" Aruna menjawab setelah beberapa lama berpikir. Ia tidak begitu kenal gadis ini selain tau nama dan jurusan meski sama-sama satu angkatan. Ia bahkan lebih bisa meyakini bahwa gadis itu bahkan tidak tahu siapa Aruna.

"Hah?" Gadis itu tampak berpikir beberapa lama. Antara kebingungan atau terkejut dengan pertanyaan itu, padahal yang Aruna tanyakan hanya sebuah pertanyaan sepele. Omong-omong nama gadis itu adalah Friska. Tipikal anak-anak gaul yang punya penampilan khas cewek cantik dan suka hangout ke mall dan membawa mobil ke sekolah—mobilnya diparkir di luar sekolah.

"Lu belom makan, 'kan? Gue mau ke kantin nih. Obatnya nggak bakal berguna juga kalau perut lu nggak diisi. Sekalian gue mau beli minum juga." Untuk kalimat terakhir, memang Aruna berbohong kalau ia akan melakukan itu. Aruna sengaja berkata begitu karena ia meyakini kalau gadis ini akan menolak dibantu—apalagi jika caranya adalah sampai melanggar peraturan.

[ON HOLD] Di Balik KulminasiWhere stories live. Discover now