Fiksi Terakhir

136 6 0
                                    

Gio merasakannya lagi.

Sesuatu yang membuatnya meringis kesakitan setiap menulis fiksinya. Sesuatu yang harus ia lawan setiap malam, di depan meja kerjanya. Seperti ada sebuah benda tumpul yang mendesak masuk ke dalam tubuhnya. Masuk dengan keras dan memaksa. Rasa sakit itu terus menerus di ulang.

Ia menghentikan jari-jarinya yang sedang membangun cerita. Menyita sedikit waktu untuk merasakan sakit yang berkali-kali ia rasakan sejak umurnya menginjak sepuluh tahun. Saat itu adalah tahun-tahun pertama ia memiliki dan mengenal sosok seorang Ayah. Ayah Tirinya adalah seorang laki-laki berdarah campuran Yogyakarta-Arab, berumur 40 tahun. Ia seorang penulis.

Silo. Mendadak rasa sakit di seluruh tubuhnya bertambah ribuan kali lipat setiap ia mengingat nama itu. Silo sempat berpacaran selama tiga tahun dengan Lastri, Ibu Gio. Selama masa pacaran, Silo sering sekali mengunjungi Lastri dan Gio. Dalam satu bulan, hampir lebih dari dua kali Silo mengajak Gio dan Lastri untuk pergi ke Taman Ria.

Silo mengajari Gio banyak hal. Membanjiri Gio dengan ilmu, pengetahuan, wawasan, dan cara memandang hidup dengan baik. Silo juga yang mengantarkan Gio kepada dunia tulis menulis yang sekarang menjadi sumber pencahariaannya. Setelah tiga tahun pendekatan, Silo yang menjelma menjadi sosok Ayah bagi Gio mengambil langkah untuk melamar Lastri untuk dinikahinya.

Gio masih mengingat saat itu, ia melihat Silo melamar Ibunya di ruang tamu. Ia sedang merebahkan diri di sofa saat itu, berpura-pura tertidur. Silo beranjak dari kursi tempat duduknya ke samping Lastri. Ia menggenggam tangan Lastri dengan wajah yang sangat mesra.

Gio semakin mengerang. Rasa sakitnya semakin tidak tertahankan, ia terpaksa mengingat wajah Silo yang ingin ia buang jauh-jauh. Semakin jauh ia berlari, semakin kencang mengejarnya. Ia mengubur apa yang setiap waktu semakin tumbuh menjalar dengan cepat di dalam kepalanya.

Tangannya menjenggut rambut ikal di bagian belakang kepalanya, mencoba menghilangkan pusing yang mulai timbul dikepalanya. Rasanya seperti ada yang tumbuh dan memberontak ingin keluar dari dalam tengkorak kepalanya. Satu tangannya lagi memukul-mukul punggung meja yang terbuat dari kayu. Suara gaduh yang timbul dari pukulan di atas meja membuatnya semakin tidak terkontrol. Di ujung-ujung bola matanya, terlihat semburat merah yang menjalar seperti akar-akar di dinding tua. Pertahanannya runtuh, rasa sakit yang mendera tidak lagi tertahankan. Ia berteriak dengan sangat keras. Memenuhi seisi rumahnya.

Pintu kamar terbuka dengan keras, menyambut teriakkan panjang Gio. Sita mengahambur masuk ke dalam kamar, mengangkat tubuh Gio yang layu tergeletak di atas punggung meja.

“Gio… Gio.” Panggil Sita berkali-kali mendapati Gio tidak sadarkan diri. Sita menggoncang-goncangkan tubuh Gio. Ia terus berusaha membangunkan Gio. “Bangun, Gio. Bangun.” Serunya lagi, berfikir seolah Gio mendengar teriakannya.

Mata Gio masih terpejam, tubuh dan wajahnya penuh dengan keringat.

Sita menampar pipi Gio beberapa kali, semakin lama semakin kencang. Sampai akhirnya kelopak mata Gio bergerak mengedip. Ia mulai sadar. Matanya terbuka perlahan. Sita membantunya untuk duduk.

“Kepala aku sakit, Sit.” Keluh Gio sambil memegang kepalanya.

Sita menyapu keringat di dahi Gio dengan telapak tangannya, “Kita ke rumah sakit, Gio. Aku khawatir terjadi apa-apa samu kamu.”

“Sudah terjadi, Sita. Jauh sejak belasan tahun yang lalu. Aku hampir terbiasa, walaupun setiap kali kambuh rasanya tetap sangat sakit.” Ucap Gio dingin.

Sita memeluk tubuh Gio yang penuh keringat, melingkarkan kedua tangan di pinggang Gio dan menyandarkan kepalanya di dada Gio. Ia bisa mendengar debar jantung Gio yang masih belum stabil, sangat cepat, bahkan akan cukup sulit di samakan temponya dengan metronome.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 23, 2013 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Fiksi TerakhirWhere stories live. Discover now