Benedict Adyatama

335 18 9
                                    

Cinta.

Seseorang bisa menjadi gila hanya karena dia. Bisa hancur karenanya. Merana karena sakit yang ia timbulkan. Dan bisa pula sangat-sangat bahagia karenanya. Iya. Cinta.

Dampak dari cinta itu
memang sangat dahsyat. Tidak banyak dari mereka yang sangat terobsesi dengan perasaan ini, termasuk laki-laki yang ada di hadapannya. Dia, Benedict Adyatama, mungkin bisa dimasukkan ke dalam jejeran orang-orang yang amat-sangat-terlalu terobsesi dengan cinta.

Mungkin terdengar sangat hiperbola, tapi kenyataannya memang begitu. Ya, awalnya.

"Putus lagi, Ben!?"

Sontak seluruh penghuni kantin menoleh, semua pasang mata tertumpu pada meja berbentuk lingkaran di tengah-tengah kantin, yang dihuni oleh Ben dan juga Arlet.

"Iya." yang ditanya hanya menjawab santai, tidak terusik dengan banyak pasang mata yang memperhatikannya. Mungkin sudah terbiasa. "Dia sama aja kayak mantan-mantan gue yang lain, daya pikatnya Cuma sesaat aja. Setelah itu, hambar. Bosan."

Mendengar hal itu, lantas Arlet menggeram, gigi grahamnya saling beradu penuh kekesalan. "Lo sendiri yang minta gue buat jodohin lo sama Thella," katanya. "Thella. Teman gue. Catet."

Jika kalian salah satu murid di SMA Virmaris, maka kejadian seperti ini sudah tidak asing lagi. Dia, Ben, cowok dengan segudang prestasi olimpiade Bahasa Inggrisnya itu, acapkali gonta-ganti pasangan.

Seperti kartu kuota perbulan. Sebulan pakai, terus dibuang.

Parahnya lagi, Ben ini hobi minta tolong sama Arlet, sohibnya dari kelas satu SMP, buat dicariin jodoh yang selanjutnya. Tentu saja target Ben ini teman-temannya Arlet.

Kalau dihitung, mantan pacar Ben itu ada lima. Iya lima. Lima dikali lima. Dua puluh lima. Dan seperempat dari itu, adalah teman-teman Arlet.

"Gue kira dia beda, ternyata sama aja." jawab Ben.

Arlet semakin menggeram, salah satu tangannya ia layangkan menuju rambut hitam pekatnya, lalu menariknya kuat. Membuat pose seperti seseorang yang sedang frustasi. "Lo nyadar nggak, sih, secara gak langsung, lo bikin gue nyakitin teman-teman gue sendiri."

"Apa?"

"Iya." Arlet mendengus. "Gue yang kenalin lo ke dia, atur semua pertemuan kalian sampai kencan kalian, terus lo pacarin. Gak lama kemudian lo putusin. Apalagi kalau gak nyakitin namanya?"

"Salah mereka sendiri, gak bisa bikin gue nyaman. Gak bisa bikin gue ngerasa gimana detak jantung itu berdegub kencang Cuma dengan tatap matanya aja." lalu Ben tertawa, merasa jijik dengan kata-katanya barusan. "Najis, bahasa gue geli...,"
Arlet mendengus kasar. "Lo tolol."

Ben tertawa renyah. "Dan sayangnya, mereka tergila-gila sama gue yang tolol ini."

Lihat 'kan.

Ben adalah salah satu perwujudan nyata bagi Arlet, tentang seseorang yang teramat mendambakan cinta, sehingga seringkali bertukar pasangan. Mencicipi mereka satu-satu seperti makanan. Ah, mungkin terlalu berat untuk disebut dengan cinta.

Karena cinta tidak akan bertahan sesingkat itu. Karena cinta tidak akan melepaskan salah satu dari mereka, dengan semudah itu, sesederhana kata putus, lalu menghilang, kalaupun bersitatap kembali, tidak akan ada yang menegur.

Kalau begitu namanya apa? Nafsu?

"Kalau lo berpikir memberi harapan lalu meninggalkan seseorang begitu saja adalah hal yang keren, mungkin lo belum pernah patah hati, Ben."

"Memang belum." Ben menyilangkan kedua tangannya didada, merilekskan tubuhnya pada sandaran dinding yang ada dibelakang. "Dan tidak akan patah hati."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 12, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Some Girls for BenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang