Epilog

704 29 2
                                    

So here's the epilogue . Thanks buat yang udah baca cerita ini dari awal sampe akhir, makasih juga yang sudah meninggalkan jejaknya di cerita saya . so... check this out, the last part of Bara and Rea


XOXO

Almira


***


Rea nyaris tak bisa berhenti tersenyum saat ini. Semuanya terasa begitu lengkap dan sempurna ketika ia berdiri disebelah Bara yang nyaris tak pernah melepaskannya dan merangkul pinggangnya dengan mesra ditengah resepsi pernikahan mereka. Bukan resepsi mewah memang, tapi Rea bahagia karena saat ini, di halaman rumah Om Jaya, mertuanya yang luas, Rea berdiri ditengah orang-orang yang menyayanginya. Apalagi ditengah orang-orang itu berdiri Helen sahabatnya yang ia kira akan membenci dan meninggalkannya, tapi rupanya Helen telah memaafkannya dan hadir dipesta pernikahan bersama keluarga kecilnya.

"Jangan berhenti tersenyum," Bisik Bara ditelinganya saat Rea mencoba untuk menghilangkan senyuman diwajahnya. Rea menatap Bara lekat-lekat yang dibalas oleh Bara. "Tersenyumlah, karena senyummu adalah kebahagiaanku," jelas Bara yang makin memperlebar senyum Rea.

Ah... betapa beruntungnya Rea. Setelah semua yang terjadi, Bara masih berdiri disisinya dan mencintainya. Dulu Rea pikir kehadiran Bara dalam hidupnya hanyalah sebuah pilihan paling masuk akal untuk Rea. Tapi rupanya kehadiran Bara lebih dari itu. Bara dengan kepribadiannya yang sederhana mampu membuat Rea kembali percaya kalau masih ada cinta yang tulus, cinta dari keluarganya dan tentunya cinta dari Bara. Dan juga Bara mampu membuatnya percaya kalau ia bisa mencintai lagi, mencintai tanpa harus terluka.

Rea mengecup pipi Bara sekilas sebelum pandangan matanya kembali teralihkan kepada orang-orang yang disayanginya.

"Apa kamu bisa percaya sekarang?" tanya Bara lagi sambil mengeratkan pelukannya dipinggang ramping Rea yang hanya mengenakan gaun putih dengan potongan dan model sederhana yang memudahkannya untuk bergerak. Sesuai dengan konsep resepsi pernikahan mereka, pesta kebun.

Rea mengulum senyum. Ia sudah mempunyai jawaban untuk pertanyaan Bara. Tapi ia belum ingin menjawabnya. Masih ada yang belum terselesaikan, dan ketika hal itu selesai, maka dengan senang hati Rea akan menjawab pertanyaan Bara. Rea menatap lekat-lekat gerbang rumah Om Jaya, mertuanya. Saat ini Rea tengah menunggu seseorang, atau lebih tepatnya sebuah keluarga.

"Kamu menunggu seseorang?" tanya Bara yang mencoba tidak terlalu memikirkan sikap Rea yang mengacuhkan pertanyaan sebelumnya.

"Sebuah keluarga lebih tepatnya," jawab Rea pelan. Lalu seolah jawaban Rea adalah sebuah isyarat, sebuah keluarga yang ditunggunya datang. Sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan seorang bayi perempuan yang berusia sekitar lima bulan.

"Ben," desis Bara syok.

Rea menyentuh dada Bara dan menghentikan suaminya itu ketika hendak menghampiri Ben, mantan kekasihna. Bara menatap Rea dengan bingung. Meski selama lima bulan terakhir Bara tak pernah sekalipun bertemu dengan Ben, tapi kemarahannya pada Ben belum padam. Ia begitu marah pada Ben karena hampir menyebabkannya kehilangan Rea.

"Tenanglah, aku yang meminta dia kesini," Rea menjelaskan dengan selembut mungkin, membuat Bara mau tak mau menahan emosinya karena Bara tak ingin menyakiti Rea karena baginya Rea serapuh kelopak mawar yang akan hancur dan rusak jika tidak diperlakukan dengan hati-hati. Bara hanya mampu menghela napas panjang saat Ben dan Gwen serta putri mereka berjalan kearahnya.

"Selamat atas pernikahan kalian." Ucap Gwen begitu wanita itu berdiri dihadapan Rea. Rea tersenyum lebar dan melepaskan dirinya dari Bara sebelum memeluk Gwen yang tengah menggendong Naren.

"Terimakasih sudah datang, kak" bisik Rea sambil tersenyum lebar yang membuat Bara nyaris melongo. Sejak kapan Rea dan Gwen akrab? Yang Bara tahu Rea dan Gwen bahkan nyaris tak pernah berinteraksi sebelumnya.

"Selamat, Rea," ujar Ben pelan dan kaku usai Rea melepaskan Gwen.

Rea tersenyum. Bukan... bukan senyum palsu. Tapi senyum tulus yang lebar.

"Terimakasih, Ben." Balas Rea mantap. Bara hanya bisa diam dalam kebingungannya melihat interaksi akrab Rea dan Gwen sementara Ben hanya berdiri kaku disebelah Gwen. Usai berbasa-basi sebentar, Ben dan Gwen pamit untuk bergabung dengan Helen dan keluarganya yang diiyakan oleh Bara dengan penuh semangat.

"Sebaiknya kamu jelaskan semuanya sayang," pinta Bara yang lebih mirip sebuah perintah. Rea terkikik geli melihat sikap Bara. Kini Rea jauh lebih ekspresif yang Bara sadari sebagai sebuah perubahan yang membahagiakan karena Rea-nya tidak lagi mengenakan topeng datar datar dan tegar itu lagi.

Setelah puas menertawakan sikap Bara, Rea akhirnya bercerita bagaimana Ben berlutut didepannya nyaris setiap hari-tanpa sepengetahuan Bara tentunya-demi meminta maaf pada Rea. Awalnya Rea tak ingin memaafkan Ben, karena Rea sudah tak percaya lagi pada lelaki yang pernah dicintainya itu. Tapi semua itu berubah ketika tanpa sengaja Rea mengetahui bahwa Ben tidak akan menemui putrinya, Naren, kalau Rea tidak memaafkannya. Rea tahu Ben begitu mencintai dan menyayangi putrinya. Dan keputusan Ben untuk tidak menemui Naren adalah sebentuk penghukuman diri bagi Ben karena telah berdusta pada Rea hingga akhirnya tepat sebulan sebelum hari bahagianya, Rea memaafkan Ben. Saat itulah Rea mengetahui bahwa rumah tangga Ben dan Gwen tengah diujung tanduk. Gwen telah mengajukan gugat ke pengadilan dan tingga menunggu dua sidang lagi hingga hakim mengetuk palunya.

Entah kenapa, meski awalnya Rea begitu marah dan membenci Ben, namun Rea tidak tega atau lebih tepatnya tidak ingin rumah tangga Ben dan Gwen hancur begitu saja karena Rea tahu keduanya saling mencintai. Apalagi saat ini diantara keduanya ada Naren, seorang anak yang tidak berdosa dan tidak tahu apa-apa. Akhirnya setelah memohon-mohon pada Helen, Helen setuju membantu Rea untuk kembali menyatukan Ben dan Gwen. Dan usaha mereka selama hampir sebulan akhirnya membuahkan hasil. Beberapa hari yang lalu, Ben dan Gwen telah resmi rujuk kembali.

Bara hanya bisa mengulum senyum ketika Rea menceritakan semua itu. Bara tidak menyangka kalau Rea melakukan hal sebesar itu dibelakangnya, padahal selama ini, sejak Rea memutuskan untuk belajar mempercayainya, Rea selalu bersamanya. Bara jadi bertanya-tanya kapan Rea memiliki waktu untuk semua itu. Tapi pertanyaan itu bisa ia tanyakan nanti. Saat ini Bara hanya ingin menikmati kebahagiaannya bersama Rea.

"Apa kamu tidak ingin bertanya?" tanya Rea yang menatap Bara lekat-lekat. Bara menatap Rea bingung selama beberapa saat sebelum akhirnya menggeleng, membuat Rea menghela napas. Sepertinya memang Rea harus langsung mengatakannya tanpa menunggu Bara untuk bertanya.

"Ikut aku," ajak Rea. Keduanya secara perlahan menyelinap pergi dan masuk kedalam rumah Om Jaya yang sepi karena semua orang tengah berada dikebun dan berpesta. "Dengarkan baik-baik," perintah Rea dengan serius. Saat ini mereka berdua tengah berada diruang tamu dan berdiri berhadap-hadapan dengan jarang yang cukup dekat.

"Aku mencintai kamu, Bara." Ujar Rea pelan yang membuat Bara mebelalakkan matanya.

"Apa yang baru saja kamu katakan?" tanya Bara yang membuat Rea memberengut sambil melipat tangannya didepan dada. Melihat ekspresi Rea, Bara nyaris tak bisa menahan tawanya. Bagaimana tidak, sikap Rea begitu kekanakan ketika merajuk seperti ini.

"Ah... sudahlah. Aku sudah mendengarnya," desah Bara sebelum meraih Rea dan tanpa menunggu lagi mencium bibir Rea dengan lembut. Ciuman yang menjadi ciuman pertama keduanya.

"Aku mencintai kamu, Rea" bisik Bara disela ciumannya.

"Aku juga mencintai kamu, Bara" balas Rea yang membuat Bara semakin memperdalam ciumannya.

t

Her MaskWhere stories live. Discover now