The Past

5.8K 395 8
                                    

Senyum merekah namun tampak samar. Keraguan kembali menghantui pikirannya. Ia selalu takut, selalu tak berani untuk melenyapkan kebimbangannya.

"Kenapa, Nagisa? Bukankah aku sudah berjanji padamu?"

Keraguan ini tumbuh sejak Nagisa berhasil meraih tujuannya. Bagai memetik buah durian dari dahan yang tebal dan batang yang tinggi. Tak semua berjalan mudah. Dan salah satu rintangan yang harus ia tekuni adalah apa yang mungkin bisa menyakiti dirinya. Menyakiti hatinya sendiri.

"Selamat, Shiota-san. Kau berhasil meraih peringkat satu pada pelatihan misi pembunuhan kali ini. Dan inilah tugasmu. Mungkin akan terasa sangat berat, namun jika kau tak memenuhinya, pihak pelatihan juga tidak akan memenuhi biaya pengobatan ibumu. Jadi, pikirkan kembali. Permisi."

Jemari itu kini membelai surainya. Derit pagar besi berkarat bak berteriak memanggil sang tuan rumah untuk segera memasuki ruangan yang cukup besar itu.
"Sepertinya kau harus masuk, Nagisa."
"Karma, aku ingin kau di sini."
Karma mengacak-acak dengan sedikit kasar. Ia terkekeh.
"Ibumu baik-baik saja?"
"Iya. Tapi, malam hari selalu saja batuk darah."
"Berarti bukan baik-baik saja ya?"

Karma membuka pagar besi itu. Menarik perlahan menimbulkan derit tua yang cukup menggoyahkan gendang telinga.
"Kupikir jika menjenguk ibu Nagisa tidak masalah, bukan?"
Nagisa hanya menggumam dan mengikuti di belakang Karma.

"Nagisa, jika kau bisa lolos pelatihan misi pembunuhanmu, aku berjanji. Aku akan mencintaimu dan selalu bersamamu."
"Heh? Kenapa begitu?"
"Aku hanya mengujimu."
Karma kembali menyeruput kopi susunya yang hangat pada musim dingin itu.

Matahari mulai menenggelamkan dirinya. Langit sore jingga mengantar pulang Karma dari kediaman Nagisa.
"Semoga ibumu cepat sembuh sebelum kau melakukan misi sesungguhnya! Aku mencintaimu, Nagisa!"
Lambaian dan setetes air mata menyambut kepergian Karma.

"Pelatihan misi pembunuhan?!"
"Eum. Lakukanlah misi itu, dan imbalannya cukup lumayan. Mungkin bisa menyembuhkan ibumu, Nagisa."
"Maksud Karma?"
Karma memposisikan duduknya lebih nyaman. Ia mengeratkan jaket dan syalnya karena salju di luar sana benar-benar membuat hawa dingin menusuk hingga tulangnya.
"Sebagai orang penting sepertiku, rahasia negara aku pun tahu. Hmm, saat ini Pemerintah memberikan pelatihan misi pembunuhan buronan. Sebenarnya ini hanya untuk kalangan para pejabat militer, namun karena kau dulu adalah seseorang yang mampu membunuh gurita sakti itu, mungkin ada kalanya kesempatan akan memanggilmu."
Karma menyeruput kopi susunya yang baru saja datang.
"Akkh, panas!"
"K-Karma, aku masih tidak paham. Pembunuhan apa? Siapa buronannya? Sebegitu pentingnya kah?"
Suara tubrukan dasar gelas dengan meja kayu berwarna cokelat tua mengiringi kekehan Karma dan belaian pada rambut biru itu.
"Heheh, buronannya adalah seseorang yang telah membunuh pimpinan tertinggi di negara ini. Buronan itu sangat pandai dan tampan. Ia mampu mengelabuhi pimpinan dengan taktik nakalnya dan merampas habis harta pimpinan untuk membangun sekolah besar bernama Kunugigaoka. Dan karena Pemerintah tak ingin masalah ini menyebar ke seluruh penjuru negara, maka buronan itu hanya akan dibunuh oleh tiga anggota yang lolos pelatihan misi pembunuhan kali ini. Serta kenapa harus memakai cara seperti itu, karena buronan itu juga sangat pandai dalam membunuh."

Nagisa menarik selimut putih hingga ke leher ibunya. Wajah yang pucat pasi dan nafas yang panas membuatnya semakin khawatir.
"Cepatlah sembuh, Ibu."
Secarik kertas yang sedikit lusuh ia letakkan di atas nakas dekat ranjang ibunya.

Shiota Nagisa
Lolos
Pelatihan Misi Pembunuhan Buronan 'Direktur Perusahaan Bank .... '

HesitateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang