Netranya memandang jauh di depan. Raganya terduduk, dengan kedua kaki yang tertekuk dan dagu yang ia sandarkan pada tangannya.
Nagisa terus memandang jauh dan kosong hingga tak sadar air mata bening menganak sungai dengan deras di pipi halusnya."Nagisa?"
Seseorang memanggilnya. Suara itu bukanlah suara yang asing untuk pendengarannya. Suara baritone yang mampu membuatnya terlelap saat nyaman. Suara yang selalu mengantarnya dalam kehangatan.
"Nagisa! Hei! Sadarlah, Nagisa! Buka matamu! Hei!"
Suara apa itu? Kenapa suaranya jadi tidak menentu? Bukankah seharusnya ia bertemu sang empu suara yang sangat dikenalnya? Ada apa berteriak padanya? Kenapa menyuruhnya membuka matanya?
Nagisa masih belum paham.
Jelas sekali kedua kelopak matanya terbuka menatap lurus dan kosong serta air matanya yang terus mengalir membasahi pipi putihnya.Lalu, suara apa itu tadi?
"Hei Nagisa, jangan menangis."
Suara yang tak asing menegurnya lagi. Menyuruhnya untuk berhenti menangis. Sebenarnya apa? Ia tak melihat siapapun di sekelilingnya. Pemilik suara yang tidak asing itu, juga tak ada di dekatnya.
"Sebegitu mencintai Karma kah dirimu?"
Matanya melebar. Benar-benar membuat degup jantungnya berhenti.
"Karma...."
Air matanya semakin deras. Ingatannya baru sadar. Pemilik suara yang tidak asing itu ...
"Karma?"
"Ada apa, Nagisa?"Lensa birunya bergeser ke kanan. Ditangkapnya sosok surai merah dengan senyum yang tulus untuknya.
"Heh, kau menangis lagi?"
Ibu jari Karma tergerak untuk menghapusnya.
"Sudah kubilang, jangan menangis. Kenapa kau keras kepala, sih?"
Nagisa hanya diam menatap perlakuan Karma. Ia tak sanggup berbuat banyak karena ia memang tak tau apa yang harus ia lakukan disana. Bersama Karma.
Tapi, kenapa rasanya ia sedikit kecewa?
"Terima kasih, Nagisa."
Karma tersenyum untuknya. Nagisa masih tidak mengerti, untuk apa Karma menghapus air matanya, untuk apa Karma tersenyum untuknya, dan untuk apa sekarang ia bersama Karma di dalam ruang yang asing seperti ini.
"Jangan salahkan aku, aku tidak mengajakmu kesini. Kau yang ikut denganku. Hmm, apa kau menyesal?"
Nagisa menggenggam tangan Karma. Ia meletakkannya di dada kirinya.
"Sepertinya aku sudah tidak mendengar degup jantungmu, Nagisa."
"Kami akan tetap bertanggung jawab atas Ibu Shiota. Jadi jangan khawatir."
"Mmm. Baiklah."
"Ayo pulang, Isogai. Mungkin itu memang keputusan Nagisa.""Tapi aku mendengar percakapan aneh, Karma."
"Hmm?"
"Aku tidak ingat. Kenapa aku mendengar suara Isogai dan Sugino? Kemana mereka?"
"Mereka meninggalkan kita karena urusan kita dengan mereka sudah selesai. Sekarang tinggal kita dan hanya kita yang ada disini."Karma berdiri tegap. Tangan kanannya terulur untuk Nagisa.
"Kau harus ikut aku. Ayo, kita pergi."
Nagisa hanya menurut. Ia menggenggam tangan Karma dan menggerakkan raganya untuk berdiri.
Nagisa tersenyum.
Tak ada yang perlu dikhawatirkan lagi. Selagi ia bersama Karma.
"Terima kasih, Karma. Aku mencintaimu."
"Hmm, perasaanku padamu akan tetap seperti perasaanmu. Jadi, jangan jauh denganku."
"Tentu saja.""Ada apa sebenarnya ia dengan Karma? Aku tidak mengerti."
"Um, tenanglah Isogai. Pulang saja, gantilah baju dulu. Ajak Maehara sekalian untuk datang ke upacara pemakaman sahabat kita."
"O-oke. Tapi bagaimana dengan Kayano? Aku khawatir dia akan berteriak histeris. Dia 'kan sangat mencintai Nagisa."
"Kau benar juga.""Hoooh, ternyata aku sudah gila ya."
"Memang sudah seperti itu kan?"
"Ya, aku juga mungkin sudah berniat untuk pergi bersamamu, Karma."
"Iya, terima kasih Nagisa. Kau sudah mau menemaniku. Meskipun sangat mengecewakan."
"Huuh, ibuku sudah ada yang merawat kok. Tinggal aku dan Karma saja buatku sudah sangat baik."
"Emm. Okelah."END.
Before ..
"Nagi-"
DORR
Karma terkesiap. Tenggorokannya tercekat dan bagian pinggangnya terasa perih. Ia menatap Nagisa dalam diam. Nagisa menangis. Ia mampu mendengar isakannya.
"N-Nagisa.."
Tangan Karma berubah seperti rambutnya. Warna merah segar yang bercucur deras membasahi tubuhnya.
"Mmm.. kau melakukan yang terbaik Nagisa."
Karma kembali mendekap tubuh kecil yang ia cintai. Dikecupnya pelipis itu hati-hati. Sebelum akhirnya ia tergeletak tak sadarkan diri.
"Kau pikir aku hanya berdiam diri dan terus menangis, huh?"
OWARI DESU.
Kyah~
Akhirnya project Fanfiction ini selesai juga /elap keringet/
Wah, kok endingnya nggak enak banget gitu ya xD
Gomenasai, minna-san~ Aka lagi mentok mau buat endingnya kaya gimana xD
Eh malah bikin death chara dan happy forever and ever di Surga /eah/Hehe, maafin Aka kalo ceritanya kurang memuaskan atau bikin sebel :'
This is just for fun, minna-san /belain diri/ xDHehehe arigatoo buat yang hanya sekedar membaca, hontouni arigato yang udah mau baca dan ngevote buat penghargaan untuk Aka, dan hontou hontouni arigato but yang udah baca, ngevote, dan juga comment tentang FF gaje buatan Aka yang sangat OOC ini hehe. Sejak kapan Nagisa jadi cengeng t.t hehehe
Terimakasih lagi dan sampai jumpa di karya Aka selanjutnya!^°^
YOU ARE READING
Hesitate
FanfictionKetika nurani dan akal pikir tak sejalan. Membawa jiwa dalam emosi kebimbangan. Akankah benar suatu pilihan yang Nagisa genggam? This is Karma x Nagisa Fanfiction. Assassination Classroom ©Matsui Yuusei Don't Like Don't Read Jangan lupa V & C minna...