13. Perjanjian

759 77 0
                                    

Aku disini, menunggu sesosok orang yang katanya adalah orang yang bisa memberiku kasih sayang.

Tapi, berapa lama aku harus menunggumu, Ibu?

-

Langkah kaki yang lagi- lagi datang tidak mampu membuat laki- laki itu mengangkat wajahnya. Ia masih tetap asik dengan pikirannya yang berantakan. Menenggelamkan wajah dilututnya, menetralkan rasa takutnya yang berlebihan, menghapus rasa bersalahnya yang makin lama makin menjadi.

"Gladys telah ditemukan," ucap seseorang yang tidak ia ketahui siapa.

Kata- kata itu langsung membuat laki- laki itu spontan mengangkat wajahnya dan berdiri. Jantungnya berdetak dengan sangat kencang. Rasa senangnya sudah tidak terkira lagi.

"Bagaimana? Apakah dia baik- baik saja?" Tanya Fandi langsung saat menangkap bola mata laki- laki tua, polisi.

"Keadaannya baik- baik saja. Hanya ada sedikit memar- memar dibagian tubuhnya. Anda sudah bisa melihatnya di rumah sakit Pelita," ucap laki- laki bertubuh gempal itu. Kumisnya ikut bergerak- gerak saat ia berbicara.

Tanpa mengucapkan terimakasih atau apapun itu, Fandi segera meninggalkan laki- laki itu dan memasuki mobilnya dengan tergesa- gesa. Ia tidak bisa menggambarkan perasaannya sekarang. Antara senang dan bersalah.

"Fan! Aku ikut!" Teriak Diana dan disusul dengan suara pintu mobil yang tertutup.

Mobil itu bergerak dengan cepat. Mendahului kendaraan- kendaraan yang lain, membunyikan klakson yang memekakkan telinga. Mobil itu berhenti dengan tiba- tiba. Orang- orang yang di dalam mobil itu turun dan berlari- lari di rumah sakit, membuat sedikit keributan di rumah sakit itu.

"Suster, apa ada pasien yang bernama Gladys Angelica?" Tanya Fandi kepada salah satu suster disana.

"Sebentar ya Pak." Suster itu memeriksa komputer. "Ada Pak. Di kamar 312 Mawar."

Drekk..

Pintu kamar terbuka, menampilkan sesosok tubuh yang terbaring lemah di kasur. Ada luka- luka lebam dibagian tubuhnya, membuat hati Fandi seketika menjadi miris.

Laki- laki itu mendekati tubuh itu dan memegang tangan Gladys dengan erat, "Maafin Kakak. Kakak salah, kakak jahat, kakak-" Nafasnya tercekat karena menahan tangis. Laki- laki itu menggigit bibir bawahnya. Ia merasa menjadi laki- laki yang cengeng sekarang.

Sebuah tangan menepuk pundak laki- laki itu pelan dan seraya berkata, "Gladys tidak apa- apa."

"Iya. Dia memang tidak apa- apa. Lukanya tidak seberapa, tapi aku tidak tau luka yang ada dihatinya seberapa parah."

♢♡♢

Seorang gadis terdiam, menatap lurus ke depan dengan pandangan kosong. Bibirnya pucat berwarna putih. Disampingnya ada seorang laki- laki yang tampak lebih tua darinya.

"Kamu yakin tidak menyesal, Ley?" Tanya laki- laki itu yang ditanggapi sebuah anggukan tanpa ragu.

"Kamu yakin akan membunuh orang, Ley?" Tanya laki- laki itu yang lagi- lagi ditanggapi anggukan oleh gadis yang ia tanyai. Terdengar suara helaan napas sebentar.

"Aku harap kamu benar- benar tidak menyesal," ucap laki- laki itu.

"Aku benar- benar tidak menyesal. Tidak akan pernah." Sekarang gadis itu menatap lawan bicaranya dengan lekat- lekat. Seperti ingin memasuki bola mata lawan bicaranya yang berwarna hitam pekat.

The Shadow [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang