BUAT SITA MAAF LAMA BANGET KELARNYA KARENA SEKOLAH PADET BGT HEHE ENJOY!
***
Diantara sorak sorai yang begitu memekakkan telinga, aku duduk dengan seulas senyum kecil menatap persis ke tengah lapangan.
Seorang pria dengan seragam bola berwarna hijau dan postur yang mempesona sedang menggiring bola ke arah gawang, di iringi oleh teriakan para gadis yang entah kenapa menjerit sehisteris itu.
Oke, mungkin kalau aku jadi mereka aku akan histeris juga.
Tapi bukan itu pokok persoalanya.
Persoalanya adalah aku dan si pemain bola bernama Louis Tomlinson itu pernah punya hubungan yang-yah, aku juga tak mengerti apa hubungan kami sebenarnya- klise.
Aku pertama kali bertemu dengan nya di Melbourne Uni. Entah bagaimana kami bisa bertemu disana aku pun tak mengerti- karena aku sendiri berasal dari Prancis dan dia berasal dari Doncaster. Dan seperti kisah cinta lainya, kami bertemu lalu jatuh cinta. Yah, tapi hanya sebatas itu saja.
Bingung? Nanti kau akan mengerti.
Aku mengalihkan pandangan dan kembali fokus pada Louis di lapangan tepat saat dia menendang lurus ke arah gawang lawan dan goal. Membuat mereka menang dengan score 3 - 1. Suara teriakan memenuhi seluruh stadion. Tapi detik itu juga aku merasa seluruh stadion berubah menjadi hitam putih dan hening. Kenapa? Karena detik itu Louis menatapku lurus tepat di mata. Dan aku tau persis apa maksudnya. Jadi aku membereskan barang-barangku dan berjalan menjauh.
"Hey, Sita." Entah bagaimana caranya tiba-tiba Louis menghadangku di pintu keluar.
Aku tersenyum, "Hey Lou, you were so great." Ucapku.
"I know, i am." Balasnya dengan seringai lebar. Masih sama seperti dulu.
Ingatanku melayang ke saat aku pertama kali mengenalnya. Pria yang hobi nya menggunakan earphone kemana-mana dan benar-benar tidak suka membaca buku. Sementara aku, si kutu buku sejati. Tapi kami punya satu kesamaan dan kesamaan itu lah yang menyatukan kami.
Hari itu hari Rabu.
Aku dengan celana hitam kesayanganku dan sweater pink melangkah memasuki kampus tanpa beban.
Sesampainya di kampus aku menuju cafetaria dan bergegas memesan segelas kopi hitam. Tapi sialnya saat aku sedang membawa kopi itu ke mejaku, tanganku tak sengaja menjatuhkan gelas seorang pria dan otomatis gelas itu pecah.
Itulah kali pertama aku menganal Louis. Aku memberikan kopi hitamku sebagai ganti minuman nya yang ternyata berupa kopi hitam juga. Semenjak saat itu kami sering mengobrol. Dia bilang dia tertarik padaku, dan saat aku tanya kenapa dia akan menjawab, "Kamu beda." Aku lalu menggelengkan kepala, "Gaada yang beda dari aku." Tapi Louis malah meletakkan telunjuknya di depan bibirku dan tersenyum manis.
Kemudian Louis akan berkata panjang lebar. "Aku gapernah ketemu wanita yang suka minum kopi hitam sebelumnya. Itu kan pahit banget. Tapi kamu suka hal itu. Dari situ aja kamu bisa liat kan kalo kamu beda sama yang lain? See? You're different in a very good way of different." Kemudian dia akan menggenggam tanganku atau mendaratkan ciuman kecil di pipiku kemudian tertawa.
Sekarang kalian pasti bertanya-tanya kami ini sebenarnya apa.
Aku juga tidak tau.
Pernah aku bertanya pada Louis tapi dia hanya menjawab, "We are more than friends, Sita. Kita sedang menuju sesuatu yang lebih serius." Jawabnya sambil menggenggam tanganku dan menatap bintang di langit.
Jadi aku hanya tersenyum, percaya kalau suatu saat nanti semuanya akan jelas.
Louis selalu memintaku untuk percaya, percaya padanya. Percaya saat dia mengatakan aku manis- padahal menurutku tidak, astaga- atau percaya saat dia berkata dia menyayangiku.
Dan aku percaya.
Tapi hubungan kami seperti berputar di dalam lingkaran. Kami hanya seperti ini saja, saling berkomunikasi, mengobrol, bertemu. Tanpa kejelasan. Kami terpaut pada kata, 'hampir bersama'
Kadang aku merasa dia takut. Dia takut memiliki hubungan serius. Atau aku hanya berusaha menghibur diriku sendiri dengan fakta yang di buat-buat untuk menghilangkan kemungkinan lain; dia tidak menyayangiku sebesar aku menyayanginya. Dia takut menyesal jika bersamaku.
At least, the word 'us' almost became real.
Tapi seharusnya aku sadar kalau 'hampir' saja tidak pernah cukup.
Lamunanku terbuyar saat aku merasakan Louis menggenggam tanganku.
"You okay? All this time, i mean." Tanya nya. Aku menggangguk saja sebagai balasan. Matanya tak berhenti menatapku membuatku mau tak mau menghindar dari tatapanya.
"I miss us." Katanya tiba-tiba. Tanganku masih berada di dalam genggamanya. Dan aku mulai menariknya perlahan.
"Hm, me too." balasku dengan senyum tipis.
Louis menyeringai kemudian tertawa kecil, "You seem like you dont mean that words." Aku kemudian ikut tertawa kecil, "Ngomong-ngomong aku harus bergegas. I have a date." Dia mengerlingkan mata padaku dan aku tertawa lebar.
"Oke Tommo, go then. I have a date too." Balasku.
Dia menepuk kepalaku pelan kemudian sebelum berlalu dia sempat berbisik, "Aku senang bisa ketemu kamu lagi. Jangan ngilang lagi ya."
Dan aku hanya tersenyum.
Ingatanku kembali pada hari itu, hari dimana semuanya berubah.
Hari disaat aku pertama kali merasa ada yang aneh padaku. Saat aku tidak merasa perasaan hangat di dada waktu dia menggenggam tanganku. Pipiku tidak pernah memerah lagi saat dia mengucapkan kata-kata manis. Dan sensasi bergetar di dada itu hilang begitu saja, entah kemana.
Tapi aku diam saja, karena orang bilang rasa yang di pendam semakin hari tumbuh semakin besar. Yang aku heran, aku tidak merasa pernyataan itu benar.
Dan harus nya saat itu aku tau, rasa yang terlalu lama di pendam bukanya malah menjadi semakin besar. Tapi perlahan memudar.
Dan seiring dengan rasa yang mulai hilang, kami terus mencoba bertahan. Masih tanpa ada ikatan apapun, keras kepala, memang. Sampai akhirnya kami mencapai batas, aku mencapai batas. Aku tidak memiliki rasa itu lagi untuknya, setitik pun.
Lucu kan? Padahal dulu dia segalanya buatku.
Sebuah quote dari film (500) Days Of Summer selama ini selalu melekat di ingatanku, "Some people are meant to fallin love with each other but not meant to be together."
Mungkin kami seperti itu. Rasa itu ada. Tapi takdir tidak berpihak pada kami. Dan anehnya saat itu, aku tidak keberatan dengan fakta tersebut.
Pada akhirnya kami pun melepas. Tanpa ada kata "Aku gak mau kamu pergi." Atau hal-hal yang hanya ada di film lain-nya.
Kami berpisah, sesederhana itu.
Tapi kami sama-sama tau, if we have a chance turn back time, we know that we will still do it that way.
We let go.
---
Sita aku tau ini udah lama banget kamu request tapi baru selesai sekarang soalnya baru dapet ide wkwk maaf yaa kalo ga sesuai harapan aku harap kamu suka:3
Dan buat kalian, almost is never enough guys. 'hampir' jadian, misalnya..
elsa.
KAMU SEDANG MEMBACA
memoir(^○^)
Randomand i'll give away a thousand days just to have another one with you. (a scribbled down wound of a pessimistic seventeen).
