7. Perfect Happiness

2.1K 62 6
                                    

Maya masih sibuk memerhatikan diri di depan cermin, terutama perutnya yang belum juga mengembung. Sejak dinyatakan hamil, Maya selalu memulai harinya dengan bercermin untuk mengukur seberapa besar perutnya dengan meteran.

"Tujuh puluh tujuh, udah lumayan gede." Senyumnya begitu lebar. "Sayang, tumbuh dengan sehat ya. Kita semua di sini udah nggak sabar nungguin kamu lahir. Kamu pasti akan jadi anak yang paling beruntung karena dikelilingi keluarga yang luar biasa. Kebahagiaan kami akan semakin sempurna jika kamu sudah hadir di tengah-tengah kami."

Maya selalu saja membayangkan, saat kelak bayinya lahir dan ia bisa menyentuh tubuh rentan tersebut dengan perasaan antara gemas dan takut bayinya kenapa-napa. Maya tidak sabar ingin menjadi orang pertama yang melihat anaknya tumbuh dan berkembang. Menjadi saksi ketika untuk pertama kalinya anaknya berbicara dan menuturkan 'mama'. Maya juga tidak sabar ingin menjadi satu-satunya orang yang menitah langkah-langkah pertama anaknya hingga akhirnya bisa berlari untuk memeluknya. Membayangkannya saja Maya sudah merasa sangat bahagia. Benar kata banyak orang, menjadi seorang ibu adalah masa-masa dimana setiap wanita menjadi sempurna.

Mengandung buah hatinya dengan Bian selama empat bulan ini tidaklah mudah baginya. Sampai detik ini rasa mual masih dirasakan jika berdekatan dengan Bian. Alhasil Bian meninggalkan parfum yang menurutnya menyengat itu dan hanya mengandalkan pewangi softener pakaian. Bian masih beruntung, Maya rewel hanya soal parfum, dan perkara ngidam, Maya tidak pernah menginginkan hal yang aneh ataupun nyeleneh.

"Maya,"

Maya refleks menoleh ke arah pintu, Mami yang datang mendekat terlihat menggeleng heran. Mungkin Mami sempat mendengarnya berbicara dengan janinnya tadi. Kentara sekali dengan senyum tipis dan pandangan meledek Mami pada Maya.

"Mami... kapan aku bisa bebas dari susu itu?" Maya menghela napas berat. Baru melihat segelas susu di tangan Mami saja sudah membuatnya eneg, apalagi harus meminumnya?

Seumur hidupnya, Maya tidak pernah meminum susu rasa apapun. Ia tidak pernah menyukai minuman yang satu itu. Dan empat bulan terakhir, Maya menjadi hari-hari penuh pengorbanan.

Tetapi Mami tidak pernah mengacuhkan Maya. Itulah sebabnya siang ini Mami masih melaksanakan tugas rutinnya, memberikan susu hamil untuk Maya. Jika bukan Mami yang membawanya dan memastikan Maya menandaskannya, Maya pasti akan membuang susu tersebut.

"Kamu nggak akan bebas dari susu ini sebelum anak kamu brojol."

Maya membelalak. "Mami, itu kan masih lama. Ish!" Maya merajuk dan beralih ke tempat tidurnya. Dengan wajah memberengut, diselonjorkan kedua kakinya dan bersandar. Menghindari Mami dan segelas susu hamil.

"Jangan begitu dong, May. Ingat, kamu tuh sekarang harus mentingin gizi anak kamu. Jadi jangan egois begitu." Nasihat Mami keseribu juta kalinya.

Setiap kali Maya menghindar atau beralasan untuk tidak meminum susu, Mami selalu bisa membuat Maya tak punya pilihan. Dan sekalipun Mami tidak pernah gagal untuk hal itu.

Setengah hati Maya meminum susu bikinan Mami, dan cepat-cepat meneguk air putih untuk menetralisir rasa vanila di lidahnya. Sesudahnya ia pun bernapas lega, dan kembali mengusap perutnya yang belum juga membuncit.

"Bulan keempat memang belum buncit, May." Kata Mami seolah tahu apa yang sedang dipikirkan Maya.

Maya tersenyum saja, "Iya nih Mi, rasanya nggak sabar nungguin si dedek makin gede di dalam. Nggak masalah deh kalau tambah berat. Mami dulu waktu mengandung Fabian pasti ngerasa lebih berat lagi ya, soalnya kan mereka berbagi rahim Mami."

"Maya,"

"Eh, ada Mami juga?!"

Kali ini suara berisik Fab dan Laira membuat Mami juga Maya refleks menoleh ke arah pintu.

OUR HOMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang