CHAPTER 2

304 25 2
                                    


"Astaga, apa yang terjadi?" Lana dengan tak percaya melihat ke arah langit yang kini telah gelap gulita.

"Merapi telah meletus dan mengeluarkan awan panas." kata Shandi, sambil berusaha menyembunyikan nada kepanikan dalam suaranya agar Lana tak merasa ketakutan juga, "Namun aku tak pernah menyangka volume awannya bakal sebesar dan setinggi itu."

"Langit gelap sekali. Ini ... ini baru jam 8 pagi tapi seperti sudah malam ..." Tieya yang menyusul di belakang mereka juga tampak ketakutan.

"Kurasa kita harus segera pergi dari sini!" usul Otong, "Kota ini tak lagi aman!"

"Tapi kakak bagaimana? Jika kakak pulang ..."

"Lana!" Shandi menggenggam kedua bahu gadis itu, "Aku mengerti perasaanmu, namun jika kakakmu ada di sini, ia pasti menginginkanmu pergi ke tempat yang aman."

Lana akhirnya menuruti perkataan pemuda itu, "Namun kemana kita akan pergi?"

Tieya berusaha menyalakan televisi, "Semua siarannya terputus. Pasti karena awan itu!"

Shandi segera meraih androidnya, "Tak ada sinyal. Aku tak bisa menghubungi siapapun, bahkan nomor emergency sekalipun."

"Dalam keadaan darurat seperti ini selalu ada satu sumber informasi yang tetap bisa diandalkan." Otong segera mengeluarkan sebuah radio butut dan menyalakannya.

"... bagi penduduk Yogya ... diimbau untuk segera mengungsi ... Merapi telah mengeluarkan erupsi ... dimohon segera menuju ke titik evakuasi ..." penyiar radio itu kemudian menyebutkan beberapa lokasi.

"Itu nama SMA-ku disebut. Itu adalah lokasi terdekat dari sini." ujar Lana.

"Baiklah, kita harus segera ke sana!" kata Shandi, "Tieya, Otong, kalian juga harus ikut!"

***

Januar terus berlari. Awan hitam pekat yang menyelubungi langit tak menyurutkan langkahnya, bahkan ia malah berlari lebih kencang. Ia harus segera membawa Lana keluar dari situasi mengerikan ini. Hanya itu yang ada dalam pikirannya.

"Praaaang!!!" ia mendengar suara kaca pecah. Januar berhenti dan melihat beberapa orang tengah mendobrak masuk ke sebuah toko emas dan menggasak isinya. Ia ingin menghentikan perbuatan biadab orang-orang yang justru ingin mengambil keuntungan dari kondisi mencekam ini. Namun ia kembali teringat kepada Lana. Tidak, ia tak punya waktu untuk hal seperti ini. Ia harus segera membawa Lana ke tempat yang aman!

Januar hendak meninggalkan tempat itu ketika melihat peristiwa lain. ia mendengar teriakan seorang gadis yang tengah terpojok di dinding. Ia adalah seorang gadis yang teramat cantik dengan rambut hitam terurai panjang. Wajahnya nampak ketakutan melihat pria-pria yang tato menjalar di sekujur tubuh mereka.

"Jangan takut Nona manis ..." kata salah satu preman tersebut. Namunjelas tak bermaksud baik terhadap gadis itu.

"Tidak! Tolong aku!" jerit gadis itu.

***

"Tidak! Tolong aku!" suara itu yang meluncur dari bibirnya, namun dalam hati ia terkekeh. "Ayolah mendekat, makhluk-makhluk menyedihkan. Aku bukan gadis tak berdaya seperti dugaan kalian. Akan segera aku tunjukkan."

Juliana menyibak rambutnya. Nampak seorang pemuda tengah memandangnya dari kejauhan. Matanya segera terpaku pada pria itu. Darah dalam jantungnya terasa berdesir lebih kencang.

Ah, tidak ... perasaan apa ini? Seahrusnya perasaan seperti ini sudah mati sejak dulu. Mengapa ... mengapa ia merasakannya lagi?

Namun pupil matanya kembali menyusut, menyorotkan kebencian. Tidak! Semua laki-laki sama saja.

CITY OF ASHES: PART ONEWhere stories live. Discover now