~3~

908 135 39
                                    

Pak Joko menurunkan Revan sekeluarga di area pemberhentian penumpang, juga sembari menurunkan beberapa barang di bagasi.

Pria berusia lanjut itupun menelepon seseorang untuk memastikan tidak adanya kesalahan. Kami berjabat tangan dan mengucap perpisahan pada supir yang mengabdi lama pada keluarga.

Kami mendorong troli berisi barang masing-masing, masuk. Rupanya waktu telah tiba. Bergegas, Papa mengayom menuju ruang check-in kemudian kami diminta melewati pintu metal detector lalu mengambil barang kembali dan langsung memasuki badan pesawat.

- - -

Sekitar satu jam empat puluh lima menit kami sampai Surabaya. Panoramanya sangat berbeda dari Jakarta, juga cuaca. Jika di Jakarta dari atas kaca pesawat saja sudah nampak polusi dari beberapa titik, di Surabaya jernih sesekali nampak pohon hijau membentang.

Aku menghembuskan napas lega, saat roda telah menyentuh aspal bandara.

Tanda kenakan sabuk pengaman telah padam dan pesawat pun berhenti sempurna. Penumpang antri keluar.

Jujur, ini kali pertama aku menapak kaki di kota Surabaya. Kecuali kedua orangtuaku, terutama. Semuanya asing, orang-orang, bahasa mereka dan lainnya.

"Ma! Rumah Mama dekat gak dari sini?" Aku bertanya hal yang kupikir seharusnya membuat Mama senang, tapi kenapa malah sebaliknya?

Kembali aku alihkan pandangan pada area sekitar. Kami mampir sejenak membeli sesuatu di beard papa's-sebuah toko roti yang dijajakan disana.

Beragam roti terhidang dalam kotak persegi kuning tersebut. Chocolate fondant cake, almond eclair, green tea frosting, cocoa, cheesecake stick. Dipesan, dan habis saat itu juga sebelum lama disajikan. Memang dapat dibenarkan jika seseorang yang bepergian jauh lapar berat, walau terlihat hanya duduk santai. Istilahnya jetlag.

Papa menyesap kopi latte avocado-nya. Mama paling sederhana, cukup air mineral dan aku dengan es krim mangga. Energi kami kembali terisi penuh dan siap menempuh perjalanan kembali.

Didepan bandara sudah terpatri mobil toyota alphard putih beserta seorang pria paru baya berseragam hitam. Bersiaga membantu kami menaruh barang dalam bagasi.

Beliau yang nantinya akan menggantikan tugas Pak Jono disini, kata Papa. Namanya Pak Diman, mempunyai istri dan dua orang anak. Beliau siap tinggal bersama kami asal diperbolehkan menjenguk keluarga seminggu sekali, minimal.

Mobil melesat menuju tempat tinggal kami yang jauh, dari area perkotaan, agak sedikit masuk kedalam hutan.

Rasa bosan mulai menggelayuti, karena didepan sana hanya terlihat jalan beraspal dan jika melihat ke kanan-kiri hanya pemandangan tumbuhan sesekali rumah warga terlintas. Aku mengambil benda persegi panjang lalu sibuk memainkan jari diatas benda pipih tersebut.

- - -

"By, bangun sayang, kita sudah sampai." Dalam mimpi suara itu dapat kudengar dengan sedikit perubahan kondisi dan si pembicara.

"Wake-up gummy!" Setelah ruh berhenti menjelajah dunia mimpi, aku terbangun sambil menguap pelan. Barusan suara Papa seperti hendak menjemput nyawaku dari taman bermain anak-anak untuk kembali pulang.

Perihal mengapa ia menyebut namaku dengan gummy, itu lantaran sedari kecil aku gemar memakan permen gummy bear dan akan merengek minta dibelikan jika sudah habis. Sampai sekarangpun aku masih mengidolakan sosok permen kenyal berbentuk beruang dengan ukuran mini tersebut.

Wow! Benar-benar hijau dan sejuk. Jangan, jangan kira aku kampungan karena terkejut melihat pemandangan sekitar yang ditumbuhi dedaunan saja ini, wajar saja. Di Jakarta bahkan hanya taman dan beberapa restauran yang menyuguhkan penglihatan asri.
Lainnya pasti tumbuhan palsu terbuat dari plastik.

Pak Diman ternyata sudah turun berserta Papa dan Mama yang menyusul kemudian. Rumah itu jauh lebih kecil dari rumah kami sebelumnya. Tapi desain arsitektur yang membuat rumah ini sangat alami dan cocok ditempatkan dalam hutan.

Dinding batu beraneka ragam sejenis warna batang pohon sangat berpadu dengan atap kayu berwarna cokelat tua

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Dinding batu beraneka ragam sejenis warna batang pohon sangat berpadu dengan atap kayu berwarna cokelat tua. Sentuhan jendela kaca tambah membuat rumah itu modern dan luas. Tak lupa tanaman hias yang sangat disukai Papa ikut meramaikan halaman depan hijau rumah kami.

Lihat! Disana bahkan terdapat pohon delima yang sudah berbuah. Aku sudah jatuh cinta pada pandangan pertama dengan rumah kami sekarang.

Memasuki dalamnya ternyata jauh lebih megah dari yang terbayang. Lantai kayu parket menjadi alas saat kaki menapak. Udara yang dingin juga terasa dari dalam rumah. Sangat sederhana namun tak meninggalkan kesan modern yang aku senangi dari desainnya.

Kami diajak berkeliling oleh Pak Diman menunjukkan segala sudut rumah. Saat pintu utama dibuka kalian sudah akan disuguhi ruang tamu dan menilik kedalam, ruang makan beserta dapur jadi satu paket. Meja makan mirip seperti kayu berbentuk segitiga begitu menggambarkan penghuni rumah, yang beranggotakan 3 orang.

Dapur,,, jika biasanya para Ibu akan hobi berlama-lama disana, justru berbeda dengan keadaan yang akan terjadi nanti. Aku hanya bisa menatap datar sembari mengembuskan napas.

"Untuk kamar, semuanya ada di lantai dua." tutur Pak Diman, menuju tangga.

Lantai dua nampaknya memang ditujukan untuk area pribadi. Karena melirik ke sudut kanan terdapat ruang keluarga beserta televisi menyerupai ruang bioskop kecil. Dan didepan sudah terlihat jelas dua kamar yang saling berhadapan.

"Nah! Disitu kamar Non Ruby,,," ujar pria berseragam hitam tersebut kearah kiri, "Tuan dan Nyonya di sebelahnya." kembali menunjuk kamar yang satunya.

"Kita akan betah disini sepertinya." terka Revan.

"Hmm... Pak! Saya masih harus memeriksa mobil ke bengkel untuk diganti roda. Saya permisi." pinta Pak Diman pada Papa dengan logat Jawanya yang kental.

Papa mengangguk, sembari berterima kasih. "Ruby, mari kita lihat kamar kamu." Revan lalu mengajak Ruby ke sisi kiri sambil menggandeng telapak tangan Lidya.

Lidya sejak tadi terpaku ditempat tanpa memberi tanggapan apapun. Bahkan ketika suaminya mengajak untuk pergi melihat kamar anaknya pun Lidya diam.

"Ma!" panggil pria itu yang membuyar lamunannya.

"Tapi Pa...." Lydia menggantung kalimatnya yang sudah diketahui Revan akan mengarah kemana pembicaraan itu.

"Gak akan ada apa-apa, percaya aku." Lydia mengangguk sepersekian detik antara perasaan ragu dan cemas.

➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖

Ada apa dengan Lydia???
Nantikan kelanjutannya^_^

Thanks for reading
~ Atikahuja

Sahabat KacaKuWhere stories live. Discover now