🦋 3. Second Life

578 180 127
                                    


Luisa menghembus pelan, dia merasa sedikit lebih lega. "Sekarang, aku bisa pergi dengan tenang dan damai," bisiknya. Tubuhnya kembali berbalik menghadap jurang.

"Tu-tunggu, ma-maksudmu apa? Penjara apa? Masalah apa yang sebenarnya hingga membuatmu seperti ini?" Nada Denofa sedikit tercekat karena dia tak ingin gadis ini betul-betul melompat tepat di depan matanya.

Luisa terlihat berpikir sejenak. "Kalau aku menceritakannya pun kau tidak akan percaya. Yang jelas, ini satu-satunya cara agar aku bisa terbebas dari mereka."

"Aku tak mengerti maksudmu." Denofa menatap Luisa serius. "Mereka siapa?"

Gadis itu tersenyum. "Kau tak perlu mengerti, Denofa. Di dunia ini memang tak semuanya harus dimengerti." Luisa menggeser langkahnya semakin dekat di bibir jurang.

"Ka-kau mau lompat? Se-sekarang?" Feeling Denofa tak enak. Lelaki itu sampai menahan napasnya, dari yang dia lihat gadis ini sepertinya sudah memantapkan hati untuk mewujudkan niatnya.

'Apa yang harus aku lakukan?' batin Denofa dalam se per sekian detik. 'Menarik gadis itu? Lalu apa?'

Luisa menoleh menatap Denofa dengan senyuman tipis di bibir pucat itu. "Selamat tinggal, Denofa." Kemudian wajahnya menatap lurus ke arah depan, mengambil posisi tegap sambil menarik napas begitu dalam.

Perlahan, gadis itu mulai menjatuhkan diri.

Perlahan ... dan perlahan. Tubuhnya terasa terbang dan melayang. Jiwa ini terasa tak dalam raganya lagi. Ini akan menjadi akhir dari hidup seorang Luisa.

'Selamat tinggal dunia.'

~o0O0o~

Putih ....
Itu yang pertama kali dia lihat.

Matanya menyipit saat tirai jendela tersibak oleh angin dan membuat cahaya matahari menyinari penglihatannya. Dia pun memaksa tubuh ringkihnya duduk.

Sambil melihat ke sekeliling, dia mendapati dirinya berada dalam sebuah ruangan bergaya klasik dengan dinding kayu yang dicat pastel dan berlantai vinyl.

"Ini dimana?" Bibirnya berucap tanpa suara. Sambil menetralisir suasana, dia pun mengingat apa yang telah terjadi.

Anehnya, meski berusaha, gadis itu sama sekali tak mengingat apapun. 'Apa yang telah terjadi? Dimana ini? Dan yang lebih penting lagi adalah ....'

"Aku siapa?"

"Oh iya! Aku Luisa, dasar bodoh. Kupikir aku amnesia, hahaha! Syukurlah." Gadis itu merasa konyol dengan pikirannya sendiri.

Tok tok tok!

Suara pintu ruangan diketuk pelan. Tanpa menunggu jawaban, pintu itu sudah dibuka dan munculah seorang lelaki yang mungkin pernah dia lihat entah dimana.

"Kau sudah bangun?" Lelaki itu masuk dan meletakkan nampan berisi teh dan roti.

"Kau ... siapa?" tanya gadis itu polos.

"Denofa," jawab yang ditanya.

"Denofa? Ini dimana?"

"Kau sedang berada di villa keluargaku. Kau sudah aman kok, tenang saja." ujar lelaki itu.

"Ooh, hmm." Dahinya berkerut. "Kenapa aku bisa ada di sini?"

Denofa terlihat sedikit kaget mendengar pertanyaan Luisa. Tubuhnya sempat mematung dan tatapannya bingung. "Ja-jadi, kau tak ingat apapun?"

Luisa menggeleng ragu. Dia masih berusaha mengingat-ingat apapun itu. Namun sekeras apapun dia berpikir, tetap saja dirinya tak bisa ingat satu hal pun yang pernah terjadi dalam hidupnya.

"Aku ... tak tau."

"Kau serius? Kau tak ingat apapun yang terjadi? Khususnya tadi malam?" tanya Denofa meyakinkan.

Setelah kembali mengingat-ingat, Luisa menyerah dan menggeleng dengan wajah bingung.

Denofa kini menimbang-nimbang apakah dia harus memberi tau atau tidak pada Luisa bahwa gadis itu semalam telah mencoba untuk bunuh diri.

"Tunggu! Ahh!" Luisa meringis karena tiba-tiba kepalanya terasa sakit. Tak lama matanya meloto begitu sekelebat momen lewat di ingatannya. "A-aku ... me-mencoba bunuh diri??" Dirinya tersentak tak percaya dengan ingatannya sendiri.

Mata Luisa membulat danmembesar menatap Denofa, seolah menuntut kebenaran atas apa yang ada dibenaknya. "Kau juga ada di sana ... malam itu, Denofa. A-aku ... tidak salahingat, 'kan? Kau ada di sana ... bersamaku!"

~o0O0o~

Please Vote and Comment

.

.

.

.

.

.

.

Love di Udara,

Ranne Ruby

THE SPLENDOR [Republish]Where stories live. Discover now