Chapter 7

6K 644 13
                                    

Rumah itu merupakan salah satu rumah bergaya Victoria yang terletak di Wiluna, sebuah kota kecil di Australia Barat. Halaman rumah tersebut yang lebih mirip oasis di tengah-tengah gersangnya iklim Gurun Gibson itu dikelilingi oleh tembok batu bata tua yang dipenuhi oleh tanaman sulur-suluran berbunga semarak. Lebah-lebah berdengung dan berterbangan dengan penuh semangat kesana-sini diantara bunga-bunga yang berwarna lembut.

Disebuah gazebo ditengah-tengah halaman tersebut, duduklah seorang wanita berambut merah. Kedua tangannya yang kurus dan pucat memegang sebuah buku cerita bergambar dengan tulisan Alladin disampulnya.

"Lalu Alladin mengajak Putri Yasmin keluar dari tembok istana dengan menggunakan karpet ajaib. Karpet itu dengan mudah menerbangkan mereka diatas kerajaan. Putri Yasmin pun terkagum-kagum dengan karpet tersebut dan meminta Alladin untuk menerbangkan mereka lebih jauh lagi."

Park Jimin, yang sedari tadi mendengarkan dengan tekun kini menatap ibunya dengan pandangan bingung. "Apa dia tidak curiga melihat Alladin yang punya karpet ajaib, Bu?"

"Karena ini dongeng tidak, Sayang."

"Coba aku punya karpet ajaib juga. Aku pasti akan menerbangkan kita ke tempat ayah dalam sekejap!"

Junsu tersenyum, mata Hitam yang lembut menatap penuh kasih sayang pada putranya yang baru berusia lima tahun itu. Jari-jarinya yang kurus mengelus pipi gempal bocah itu. "Kenapa ke tempat ayah?"

"Ayah jarang sekali mengunjungi kita." Jimin menggembungkan pipinya, "Waktu di telepon pun ayah cuma berkata 'iya iya' saja tapi tidak pernah pulang ke Australia."

Junsu hanya tersenyum kecil mendengar keluhan anaknya. "Kalau ayah bilang akan datang, dia pasti akan datang. Kita tunggu saja."

Kedamaian dan ketentraman di halaman itu mendadak dikoyakkan oleh kehadiran Paman Yunho -saudara kembar Junsu, yang menerjang pintu kawat nyamuk di teras. "Junsu, mereka datang lagi! Dan kali ini mereka membawa surat perintah untuk membawamu pergi!"

Junsu memandangi kakaknya dengan tatapan kosong. "Mereka itu siapa?"

Jimin tahu siapa mereka. Walaupun ibunya tidak, tapi dia masih ingat lelaki berjas hitam dan berwajah seram yang menguarkan bau mint di ruang tamu saat mereka datang. Pria itu juga selalu ditemani seorang wanita pendek berambut hijau yang kelihatannya memusuhi semua orang yang ditemuinya. Mereka berbicara dengan Paman Yunho mengenai ibunya seolah-olah dia tidak berada disitu.

Jimin tidak mengerti kata-kata mereka tapi secara naluriah ia tahu maksud pembicaraan mereka. Kehadiran mereka selalu membuat Paman Yunho gelisah dan ibunya sangat menderita. Setelah kunjungan mereka yang terakhir, ibunya tidak bisa bangun dari tempat tidur selama tiga hari penuh karena menangis terus-terusan.

Meskipun rasa takut yang amat sangat membuat tenggorokannya tercekat dan jantungnya berdegup liar, Jimin tetap berdiri di hadapan ibunya, mencoba untuk melindunginya dari orang jahat yang ingin menyakitinya.

Paman Yunho menggigiti kuku jempolnya, kemudian bergumam, "Bagaimana ini? Bagaimna ini?" Ia menghampiri Junsu kemudian memeluk wanita itu, "Aku harus bagaimana Junsu? Aku tak tahu lagi harus berbuat apa. Mereka akan membawamu pergi."

Si laki-laki berwajah seram muncul di teras. Matanya menjelajahi seluruh halaman dengan angkuh sebelum pandangannya jatuh pada wanita muda yang duduk dengan anggun bagaikan lukisan hidup di kursinya, berlatar belakang halaman yang asri dan indah.

"Selamat pagi, Nyonya Junsu."

Pandangan laki-laki itu pun beralih ke bocah berambut merah yang berdiri di hadapan ibunya. Dia tersenyum pada Jimin. Namun bocah itu tidak senang melihatnya. Kata-kata Paman Yunho tadi membuatnya takut. Mereka akan membawa ibunya ke mana? Ia tidak mau ibunya pergi meninggalkan sisinya. Kalau mereka membawanya, lalu siapa yang akan menjaganya? Siapa yang akan menemaninya tidur dan membacakannya cerita? Siapa yang akan mencari ibunya kalau ia menyelinap keluar rumah dan keluyuran tak tentu arah bila penyakitnya kambuh?

LAWLESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang