TUJUH

142K 7.2K 439
                                    

Hamish Daud as Christian Nathaniel 😗

Aku mengamati saat Christian menabur banyak lada di steak-nya. Satu kebiasaannya yang tidak berubah dan ternyata masih kuingat.

"Harusnya kamu dikasih tarif karena selalu ngabisin lada," ledekku.

Dia terkekeh. "Enak, tahu. Pedes-pedes panas gitu. Kayak mulut kamu kalau lagi ngamuk."

"Sialan!" aku melempar gumpalan tisu ke arahnya.

Dia mengelak, seraya tertawa lebih keras.

"Biasa aja kali ketawanya. Keselek garpu, tahu rasa," dengusku.

Dia tersenyum, mulai memakan steak-nya.

Aku sangat suka mengamati rahang laki-laki saat mereka mengunyah. Perempuan lain menyukai six pack, aku lebih tertarik pada rahang kokoh. Kesukaan yang aneh, ya? Radit beberapa kali sampai tersedak kaget gara-gara aku sering iseng mencium atau menggigit rahangnya saat dia sedang mengunyah. Untung sekarang aku duduk berhadapan dengan Christian.

"Jadi..." Christian kembali bersuara saat steak-nya sudah berkurang setengah porsi. "Apa yang bikin seorang Juwita Ayudiah yang dulu bilang nggak mau nikah sebelum 30 tahun, berubah pikiran nikah di umur... 26 kurang 2 bulan?"

"I was drunk, then said yes," jawabku, asal.

Senyum miring itu muncul lagi. "Nikah sama siapa jadinya?"

Aku menggulung spagetiku, lalu melahapnya. "Namanya Radit, senior waktu kuliah. Ketemu lagi pas kerja."

"Bankir juga?"

Aku mengangguk. "Udah enak tapi dia jabatannya. Kacung level tinggi. Nggak sebawahan aku. Yah... buat jajan lipstik Chanel- ku tiap bulan cukuplah."

"Kasihan amat suami kamu. Gajinya habis di lipstik," ledeknya.

"Dia juga suka kok ngacak-ngacaknya."

"Sableng!"

Aku tertawa. Kami lalu bertukar cerita tentang apa saja yang terjadi selama 8 tahun ini.

Aku dan Christian mulai pacaran saat kami di tahun kedua SMA. Lulus SMA, Christian meneruskan sekolah Hukum di Yale University, sementara aku menetap di sini. Kami sepakat kalau LDR hanya menghabiskan waktu untuk sesuatu yang sudah kita tahu akan berakhir buruk, jadi memutuskan berpisah.

Siapa yang mengira kalau si berandal yang kupacari dulu ternyata memiliki otak genius dan bisa mendapatkan beasiswa di Yale? Aku yakin guru-guru kami dulu juga mengira sudah terjadi kesalahan besar.

Aku sendiri tidak pernah tahu kalau Christian cerdas. Dia selalu menyalin PR-ku, sering bolos, tidur di kelas. Tapi setiap ujian, nilainya selalu lebih tinggi dariku. Kupikir itu karena dia membuat contekan. Jadi aku benar-benar kaget saat dia memberitahu tentang Yale. Dan setelah itu, standar laki-laki yang menjalin hubungan denganku tidak lagi sama. Sayang, aku tidak lagi mendapatkan yang seperti dia, setidaknya sampai Radit yang datang.

"Kamu sendiri gimana?" tanyanya.

"Gini-gini aja," jawabku. "Kuliah, lulus, kerja, nikah."

Dia berdecak. "Oke. Aku mau nanya usil. Udah punya anak?"

"Belum. Baru juga setahun," balasku. "Santailah, pacaran dulu, kumpulin duit dulu. Udah puas, baru deh bahas."

"Mau nunggu berapa tahun emang?"

"Kepo ah kamu. Udah kayak ibu-ibu komplek," cetusku. "Kamu sendiri?"

"Belum nikah." Dia menunjukan kesepuluh jarinya yang bebas dari cincin. "Amerika bikin aku patah hati."

Re-TiedWhere stories live. Discover now