Rumah

118 9 0
                                    

Paginya, Christ membangunkanku dan menyuruhku untuk bersiap-siap. Tugas kami sudah selesai. Dengan mahkota kebanggan, aku berjalan menuju ruang sidang. Dimana mereka semua akan melepaskanku. Entahlah, Christ yang bilang semua itu.

Peter sudah berdiri disana. Ia nampak gagah dengan bajunya. Kakek terlihat semakin sehat. Yang Teragung Saha dan Yang Tercantik Ara juga terlihat baik-baik saja. Teman-temanku; Levin, Stuard, dan Jesse berjalan dibelakangku. Banyak orang-orang yang bisa kubilang adalah pekerja kebun. Mereka banyak sekali. Setelah dekat dengan tangga, kami berhenti lalu menundukkan badan.

"Berdirilah Putra Christian, Putra Levin, Putra Stuard, Putri Chintya, dan Putri Jesse," ucap Peter.

Kami berdiri lalu duduk di bangku ruangan. Stev dan Lyla berdiri di samping kanan. Elvino dan Ben berdiri di samping kiri. Mereka tampak ingin menangis. Melepas kami rasanya berat.

"Wahai rakyat sekalian. Dengan bangga aku sampaikan. Mereka yang telah berjasa disini akan diberi gelar khusus. Maka dari itu akan kupanggil Putri Chintya, Putra Christian, Putra Elvino, dan Putra Ben untuk segera menuju tangga kehormatan," Peter tersenyum lebar.

Aku berdiri dan berjalan mendekati Peter. Sama dilakukan oleh Christ, Elvino, dan Ben. Kami berdiri sejajar lalu menunduk. Peter mengambil pedangnya lalu menepuknya sekali di pundak kanan kami.

"Dengan ini kuberikan gelar kesatria untuk mereka. Selamat dan bertahanlah," ucap Peter.

Kami berdiri dan menghadap rakyat sekalian.

"Hidup abadi Putri Chintya!"
"Hidup abadi Putra Christian!"
"Hidup abadi Putra Ben!"
"Hidup abadi Putra Elvino!"

Gemuruh ini akan sangat kurindukan. Kapan lagi aku akan mendapat gemuruh yang banyak seperti ini?

"Dan rakyat sekalian," ucap Peter setelah semuanya diam. "Telah dinyatakan sebelumnya bahwa anak-anak dari dunia lain yang masuk kemari tidak boleh bersenang-senang. Maka dari itu akan kulepaskan Putri Chintya, Putra Christian, Putra Stuard, Putra Levin, dan Putri Jesse untuk pulang ke dunia mereka. Tanpa mencabut gelar mereka dan ingatan mereka tentang dunia ini."

Aku tersenyum lebar. Untunglah ingatanku tidak dicabut. Dengan begitu, semuanya akan menjadi sebuah kenangan yang terindah.

Plok plok!

Tepukan tangan dari Peter membuat Jubah Terbang datang kepada kami. Aku sudah memakainya. "Sebagai kenang-kenangan."

Tak terasa air mataku kekuar. "Selamat tinggal Peter—"

"Tidak," Kakek membantahku, "tidak ada kata selamat tinggal untuk kalian. Kalian akan kembali kemari lagi."

"Tentu saja," jawab Christ lalu memeluk semuanya satu persatu.

Hal yang Christ lakukan kuiikuti. Melepas semua ketegangan yang ada selama aku berada di dunia ini. Aku tidak yakin ingin pulang.

"Apa memang aku harus pulang?" tanyaku kepada Kakek.

Kakek mengangguk mantap. "Seorang pemimpin perlu istirahat."

Aku menghela nafas lalu mengangguk. Beliau benar, aku harus kembali. Aku rindu dengan keluargaku.

"Kalian akan diantarkan oleh mereka," ucap Kakek menunjuk depan pintu.

Aku menengok dan semua orang meminggirkan badan mereka. Memberi celah untuk dapat melihat siapa yang akan mengantarku. Mataku berbinar.

"Rudi!" seruku tidak percaya.

Wajahnya cerah dengan senyuman yang mengembang. Ia melambaikan tangan kanannya. Ya! Aku ingat dia. Penculik—aku tidak tega memanggilnya begitu—baik yang membantuku pertama kali. Dia.. Rudi dan temannya. Siapa...? Oh ya, Jake.

Another World Sahaara LandWhere stories live. Discover now