2. Fragmen Kenangan

106K 6.8K 1.6K
                                    

PLAY MUSIK DI MEDIA, YA!:)


-------

      Arkan duduk di kursi perpustakaan ditemani dengan buku-buku yang bertumpuk membentuk menara mungil di depannya. Salah satu hobi yang disukai Arkan selain memainkan rubik dan lego adalah; membaca buku. Entah buku sastra, novel, biografi. Kalau ada nominasi pembaca buku tercepat dan terbanyak, mungkin Arkan bisa menjadi juaranya.

     Rani duduk di samping Arkan seraya mengetuk-ngetukkan penanya di meja perpustakaan. Istirahat berlangsung tiga puluh menit, lima menit mereka habiskan untuk pergi ke kantin membeli camilan dan setelahnya kembali ke perpustakaan, menemani Arkan membaca. Rani meletakkan kepalanya di meja, mengamati Arkan. Biasanya Rani selalu berpikiran orang-orang pintar dan kutu buku kerap terlihat culun dan cupu; dengan kacamata besar di mata dan seragam yang dikancing hingga lehernya tampak mencekik.

     Namun begitu melihat Arkan. Paradigma itu seketika lenyap begitu saja.

     "Ar," Rani menegakkan tubuhnya lagi, "masih laper." Gadis itu mengusap perutnya.

     Mata Arkan melirik lewat samping buku, mengamati Rani yang menggembungkan pipi.

     "Apa?"

     "Masih laper."

     "Tadi kan udah gue beliin roti."

     "Pokoknya masih laper."

     "Beli sendiri," jawabnya dingin.

     "Arkan kok gitu sih sama pacar sendiri," rajuk Rani.

     Namun Arkan masih tidak peduli, bersikukuh dengan bahan bacaannya. Rani lantas merogoh sesuatu di dalam seragamnya dan mengeluarkan sebuah gantungan ponsel berbentuk salju yang dibelinya di pinggiran jalan. Rani menarik buku Arkan, menutupnya paksa.

     Arkan tersentak kaget.

     "Buat lo." Rani tiba-tiba meletakkan benda itu di depan Arkan. "Dari Rani, spesial buat Arkan," jelasnya lagi.

     Alis Arkan terangkat heran melihat Rani tiba-tiba memberinya hadiah. "Kok tumben?"

     "Iya, biasanya kan lo yang beliin gue makan di kantin, gantinya gue kasih itu," ucapnya dengan senyum lebar.

     "Oh." Arkan mengangguk, diraihnya gantungan ponsel itu, lantas samar-samar ujung senyumnya tertarik. "Thanks."

     "Nah gitu dong, senyum!"

     Senyum Arkan mendadak lenyap. "Yuk deh, gue temenin ke kantin. Mau makan apa lagi?"

     "Serius? Asyik!" Rani langsung semangat, "ternyata rayuan gue berhasil."

     Arkan mengacak lembut rambut Rani dan segera mengenggam jemari gadis itu untuk dibawanya ke luar perpus. "Kayaknya makan bakso nikmat, ya."

     "Bakso, mantap tuh. Apalagi dicampur es teh, wuih maknyus," Rani berkata dengan dramatis, "apalagi ditemenin sama Arkan. Tambah nikmat."
     Untuk kesekian kali, Arkan tertawa, menggenggam jemari Rani kian erat sampai beberapa mata menatap mereka tidak percaya. Awalnya mereka mengira itu hanya sekadar gosip belaka, Arkan yang terkenal sebagai murid penerima beasiswa, kapten basket sekolah dan segala kesempurnaannya yang di luar logika tidak mungkin memilih Rani, si gadis bodoh pembuat onar, menjadi pengisi relung hatinya.

     "Woi, Ar!" Arkan tersentak kaget sampai ponsel yang ada di tangannya nyaris terjatuh kalau saja sebelah tangannya tidak sigap meraih benda itu. Lelaki itu menoleh, dilihatnya Leo nyengir lebar dan memiringkan wajah, memerhatikan gantungan ponsel milik Arkan. "Apaan nih?"

SERENDIPITYWhere stories live. Discover now