His Lover

740 114 36
                                    

"DASAR ANAK BODOH! MELAWAN ORANG SEMACAM ITU SAJA KAU TAK MAMPU!"

Ia memang bodoh. Ia tahu.

"JANGAN PERNAH MASUK KE RUMAH SEBELUM KAU BISA MEMATAHKAN BALOK ITU!"

Dengan senang hati ia akan pergi dari rumah itu jika bisa.

"ANAK PAYAH! BODOH! AKAN KU PUKULI KAU SAMPAI KAU BISA MENGHENTIKANKU!"

Ia menggeram. Tanpa sadar ia mengatupkan rahangnya sekeras mungkin ketika memori itu datang tanpa permisi.

"Nak... Pahamilah Appamu. Ia hanya ingin kau tumbuh menjadi pria yang kuat sepertinya. Kau anak yang baik, dan anak yang baik selalu memaafkan orang yang menyakitinya."

Matanya mulai basah. Suara yang terekam dengan baik di otaknya itu selalu berhasil memancing buliran sialan itu keluar dari sudut matanya.

"Tetaplah jadi anak yang baik. Jaga adikmu. Jangan menjadi seperti Appamu. Aku mencintaimu."

Satu bulir air mata berhasil lolos dari pelupuk matanya. Banyak hal yang tersirat dalam pandangan kosong itu, hal yang tak bisa ia ungkapkan, yang selalu ia pendam sejak lama.

Ia lelah harus terus menjadi kuat, meskipun itu harus sebenarnya. Ia lelah menyembunyikan air mata, kekhawatiran, kegelisahan, dan penderitaannya. Ia juga manusia, ia pasti merasakan itu semua. Bedanya ia bukan manusia biasa yang bisa dengan mudahnya berekspresi.

"Oppa, kau... menangis lagi. Uljima, Oppa."

Cepat-cepat ia menyeka air matanya dengan kasar lalu tersenyum pada gadis yang ia cintai itu.

"Aku tidak sedang menangis. Udara disini membuat mataku kering dan berair."

ALL IN•

"Tak ada pertemuan khusus hari ini, kan?" Tanya pria bersetelan lengkap itu pada seorang di seberang telepon,

"Baiklah, kau urus saja semuanya. Aku akan pulang terlambat," ujarnya.

Ia memutuskan sambungan telepon dan melesakkan benda pipih itu ke dalam saku celana. Kakinya kembali melangkah pelan, wajahnya tampannya tampak letih.

Hari ini hari yang berarti untuknya. Untuk adiknya juga. Tapi ia tak bisa berbuat apapun untuk mengenang hari ini. 

Kakinya berhenti saat menyadari tak ada lagi tanah untuknya berpijak. Ia mengangkat pandangannya, menatap hamparan air di hadapannya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada banyak luka dan kesedihan disana, tapi juga ada rindu dan ketenangan. Bersama semburat jingga kemerahan yang hadir di cakrawala, ia terduduk dan menyatukan kedua telapak tangannya, berdoa. Mungkin itu satu-satunya hal yang bisa ia lakukan untuk membuat hari spesialnya berarti.

"Kau menangis," suara lembut itu menghampiri pendengarannya, "Uljima."

Ia merasakan sentuhan lembut di pipinya, menghapus air mata yang sudah mengalir entah berapa banyak. Matanya membuka, ia lalu mendapati seorang gadis berambut cokelat gelap tengah menatapnya iba.

"Pergi." Usirnya. Ia segera berdiri, menatap gadis itu dengan tatapan terdingin yang ia punya.

"Jangan marah. Ku mohon. Aku hanya melihatmu menangis. Eomma bilang saat seseorang menangis itu berarti ia sedang sedih dan terluka. Dan kau--"

"Pergi." Usirnya sekali lagi.

"Maafkan ak--"

"PERGI." Ancaman terdengar jelas dari suaranya.

All In (걸어)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang