What's the Next?

631 34 6
                                    

Janhvi;

Setidaknya perasaan tidak enakku karena terlalu merepotkan Vishal 'sedikit' terbayar dengan dua potong sandwich dan segelas softdrink untuknya. Setidaknya segala perasaan yang membuatku canggung terhadap Vishal berangsur-angsur menghilang.

Aku menghela napas pelan. Vishal duduk di sampingku sambil mengunyah makanannya. Aku meliriknya sekilas. Rasanya pasti akan sangat menyenangkan jika Jigar yang bersamaku sekarang.

Aku ingat saat pertama kali kami berkenalan. Aku memiliki senyum malu dan Jigar malah sebaliknya. Dia terus menanyakan banyak hal tentangku. Tidak hanya itu, dia memberikan cerita menarik selama kami sama-sama menunggu giliran audisi. Ketika mengetahui sama-sama gagal, aku kecewa tetapi Jigar tidak terlihat begitu kecewa. Semangatnya seolah terpupuk lebih tinggi. Sehingga secara sadar atau tidak semangat pantang menyerahnya menular padaku.

Kami berjanji bertemu sepekan setelah kegagalan. Di lokasi yang sama. Awalnya kupikir Jigar akan melupakan janji yang dibuat dengan candaan tersebut namun rupanya, Jigar malah membawa serta teman-temannya. Jigar menunjukkan tarian hip-hop-nya. Setelah hari itu semuanya bergulir dengan cepat. Kami berteman dan hanya berbicara soal dance dan rencana mengikuti audisi tahun depan. Bahkan sampai hari ini, semua yang telah kulalui bersama Jigar seperti baru kemarin saja terjadi.

"Apa ada sesuatu di wajahku?"

"Nahin Jigar," aku menggigit bibir. Mengapa aku bisa salah menyebutkan nama. Harusnya tidak kupanggil Jigar meski aku baru saja melamunkan kesayanganku.

Vishal tertawa, "apa sekarang aku mirip Jigar?"

Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Malu sekali rasanya. "Aku baru saja memikirkannya."

Vishal mengangguk-angguk. Kemudian suara tawanya perlahan-lahan memudar.

"Tidak apa-apa. Kau pasti sangat merindukannya, bukan?"

Tidak ada alasan bagiku untuk mengatakan tidak meski hanya lewat gerakan kepala.

"Aku iri sekali padanya," Vishal mengerling dan menatap langit senja dengan tarikan napas yang terdengar sangat berat.

"Iri?" Mengapa bisa?

Meski sedikit gelap, aku bisa melihat kedua ujung bibirnya tertarik serempak.

"Meski terpisah, kau tetap memikirkan dan merindukannya."

"Ini pertama kalinya kami terpisah dengan cara seperti ini." Timpalku.

"Itu kenapa aku sangat iri padanya, maksudku kalian berdua. Cinta sejati memang akan selalu seperti itu, kan?" Vishal mengerling dengan senyum khasnya. "Akan selalu merindukan jika terpisah jarak,"

Cinta sejati? Apakah benar cinta kami ini sejati? Jika benar, mengapa ada jarak yang terpisah di antara kami sekarang?

"Aku iri padanya karena dia punya kekasih sepertimu. Tetap menunggu meski tidak tahu kapan dia akan datang."

Kesalahan ini membuatku dipenuhi keraguan. Benarkah yang dipandang Vishal tentang aku dan Jigar sama? Bukankah kami datang ke Swiss untuk membuktikan apakah takdir berpihak kepada cinta kami? Jika perpisahan ini adalah sebuah pertanda, masih bisakah cinta kami disebut sejati?

Jigar, kumohon segeralah muncul di hadapanku. Agar aku tidak ragu lagi. Supaya aku menjadi sangat yakin bahwa kita memang memiliki takdir di pihak kita.

***

Jigar;

"Kau menyedihkan!" Kataku mengakhiri kebekuan di antara aku dan Shimmer.

"Aku?" Shimmer membelalak lebar. "Kita lihat siapa yang menyedihkan? Main hoon ya tum ho?" Dia berbalik dan pergi meninggalkanku.

"Dia pikir dia siapa?" Aku mendengus kasar sebelum akhirnya berbalik dan mengambil jalan yang berbeda dengannya. "Seenaknya menghina Janhvi. Kalau kutahu dia punya lidah yang cukup pedas, aku tidak akan menerima permintaan maaf dan menumpang dengannya. Menyebalkan. Haye Baghwan, mengapa aku harus bertemu dengan gadis menyebalkan seperti dia?"

SANAM REWhere stories live. Discover now