[10] : Mentari

5.1K 389 6
                                    


--: M e n t a r i :--

Sudah satu hari ponsel Langit mendekap di tangan Jingga. Jingga hanya ingin menunggu sampai Langit mengambil ponselnya sendiri. Tapi nihil, sampai lebaran kambing pun cowok itu tidak akan mengambilnya kalau Jingga tidak mengembalikannya.

Malam ini, Jingga memutuskan mendatangi rumah Langit untuk mengembalikan ponselnya. Dengan segala cara akhirnya Jingga mendapatkan alamat rumah Langit.

Rintik gerimis mulai turun, untung saja Jingga membawa payung. Jingga menutup payungnya lalu mengetuk pintu rumah Langit, semoga saja benar rumah Langit.

Pintu terbuka, menampilkan sesosok wanita paruh baya yang sedikit mirip dengan Langit.

"Siapa ya?" tanya wanita itu lembut.

Jingga tersenyum lebar. "Aku Jingga, Tante. Ini bener rumahnya Langit?"

Wanita itu membalas senyuman Jingga.

"Iya bener, kamu temennya Langit?"

Jingga mengangguk dengan sedikit ragu. "I-Iya, iya temennya."

Wanita itu tampak tersenyum senang, kala mengetahui Jingga adalah teman Langit.

"Aduh, kebetulan Langitnya belum pulang daritadi. Tante udah telpon tapi gak aktif. Tante juga lagi khawatir, karena Langit gak biasanya kaya gini."

Benar-benar tertera dalam manik matanya kalau wanita itu sangat khawatir akan keadaan anaknya.

Jelas saja ponselnya tidak aktif. Ponselnya saja ada di tangan Jingga, dan Jingga memang sengaja mematikan ponsel itu.

"Kalau gitu, aku yang cari deh."

Wanita itu sedikit kaget.

"Tapi ini lagi hujan, nanti kamu sakit."

Jingga melebarkan lagi senyuman khasnya.

"Gak apa-apa, aku bawa payung kok."

"Beneran gak keberatan?"

Jingga mengangguk yakin. Entah sejak kapan Jingga jadi sangat perhatian pada Langit.

"Aku mau nanya dulu, tempat yang biasanya Langit kunjungin itu dimana? Siapa tau Langit lagi disitu."

Wanita itu tampak berpikir.

"Emmmm..."

⚫⚫⚫

Langit mengerti, bahwa sesuatu yang datang, cepat atau lambat pasti akan pergi. Yang tak Langit pahami, kala semuanya pergi terlalu cepat bahkan diluar perkiraannya.

Pertama, Mentari. Gadis yang memiliki sejuta cara agar membuat Langit dapat melekukan senyumnya. Meski didepannya Langit selalu menutupi garis senyum pada Mentari, namun kala dibelakang gadis itu Langit selalu menunjukan senyumannya diam-diam, tanpa pernah gadis itu tahu.

Belum cukup sampai disitu, tak lama setelahnya ayah Langit pergi meninggalkannya berdua dengan sang Ibu. Dengan alasan yang tidak pernah bisa Langit terima, sampai saat ini.

Langit terduduk di sisi makam Mentari. Air matanya bahkan tidak bisa tertetes lagi, kering dimakan waktu. Tak peduli matahari sudah tertidur sejak tadi, berganti sabit dan bintang yang menyelimuti langit hitam.

Entah sampai kapan Langit akan terdiam disini. Esok pagi, siang, atau sore. Yang pasti, Langit masih belum bisa pergi. Langit masih ingin menemani Mentari.

Rintik air gerimis tidak membuat Langit terganggu. Bahkan, Langit menyukainya. Langit membiarkan tetes-tetes air hujan menghapus air matanya secara berkala. Berharap juga hujan ini dapat menghapus luka lamanya. Namun sayang, tidak bisa, tidak mungkin bisa, dan tidak akan pernah bisa.

Tiba-tiba rerintikan air hujan tidak terasa lagi di kulitnya. Langit menatap ke sekitar, hujan masih berjatuhan. Langit menoleh ke belakang.

Sedikit buram, namun Langit bisa melihat seorang gadis tengah berdiri sembari memegang sebuah payung. Langit berusaha mengamati gadis itu lamat-lamat.

"Gue gak tau ini makam siapa, tapi yang gue tau pasti, makam ini pasti makam seseorang yang berharga di hidup lo," suara samar-samar terdengar diantara deburan hujan. Langit kenal suara itu. Suara gadis koridor.

"Tapi lo gak bisa disini terus, lo bisa sakit!"

Jingga, gadis koridor itu.

Langit berdiri, bukan untuk mengucapkan terima kasih atau hal apapun semacam itu. Langit pergi, membiarkan tubuhnya dihantam air hujan. Meninggalkan Jingga, tak peduli gadis itu sendirian di tengah pemakaman yang cukup sepi, ralat---sangat sepi.

Jingga mematung, setelah itu berteriak.

"Lo itu jadi orang kenapa dingin banget, sih? Gue tau, nama lo Langit kan? Tapi kenapa lo gak pernah bisa terang layaknya langit?"

Langit terdiam, tanpa membalikan badan. Suara Jingga masih terdengar meski samar.

"Ya gue tau sih, gak selamanya langit itu terang. Tapi, gak selamanya juga langit itu gelap, kan? Lo harus ubah sifat dingin lo itu, karena pada akhirnya nanti lo gak akan bisa hidup sendirian terus."

Langit tersenyum kecut.

Langit gak akan terang tanpa mentari.

Tanpa memedulikan apapun lagi, Langit kembali melangkahkan kakinya menjauh.

"KAYAKNYA GUE LEBIH BAIK MANGGIL LO ES BATU DEH KETIMBANG COWO PERPUS!"

Langit sama sekali tidak merespon apapun. Membuat kesabaran Jingga tidak bisa ditahan lagi.

"LANGIT!" teriak Jingga lagi.

"ES BATU! ES CAMPUR! ES BUAH ES PISANG IJO DAN KAWAN-KAWANNYA!" teriak Jingga berharap Langit menoleh.

Jingga terpaku. Mungkin setelah ini, ia harus mencoba melatih kesabarannya di rumah.

⚫⚫⚫

Hujan masih menyelimuti malam. Dan Jingga masih berjalan sendirian berniat pulang. Suasana sepi, hanya beberapa kendaraan yang berlalu lalang di sekitaran jalan.

Seharusnya Jingga tahu dari awal, bahwa apa yang dilakukannya akan percuma. Untuk apa juga dirinya memperhatikan pria dingin nan menyebalkan itu? Rencananya kan, Jingga hanya datang ke rumah Langit untuk mengembalikan ponselnya saja.

Jingga berjalan lemas. Tiba-tiba sebuah tangan merampas tas slempang Jingga dengan kasar. Jingga tersentak, segera melempar payungnya demi menyelamatnya tas nya.

"TOLONG!!" Jingga berusaha menarik tasnya dari tangan pencuri itu.

Bug!

Tubuh Jingga terdorong dan terhempas ke aspal. Lalu samar-samar Jingga melihat seorang pria datang dan meninju rahang si pencuri. Dan setelah itu, semuanya gelap.

⚫⚫⚫








Langit Jingga (completed)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant