[18] : Permata Dan Sampah

4.7K 368 6
                                    


--: Permata dan Sampah :--

Sore ini hujan. Aneh, kenapa hujan akhir-akhir ini suka sekali datang di sore hari.

Terlebih, tepat saat jam bubarnya para murid sekolah yang memungkinkan siswa-siswi berbasah-basahan demi pulang kerumah. Atau malah menunggu hujan reda meski sampai malam. Hal itu mungkin hanya akan dilakukan oleh murid-murid yang kulitnya memang sangat anti dengan air hujan, atau malah bagi para murid yang dirumahnya tidak ada kerjaan. Atau malah lagi, para murid yang lupa kalau mereka memiliki rumah. Lebih tepatnya, para murid memiliki rumah yang lupa kalau mereka memiliki rumah dan lupa letak keberadaan rumah mereka.

Ah, sudahlah, kenapa jadi membicarakan para murid-murid kehujanan.

Omong-omong tentang hujan, Jingga pun tampaknya akan bernasib sama seperti para siswa-siswi yang bajunya mulai basah terkena hujan.

Pasalnya, Jingga lupa bawa payung hari ini.

Ya, sungguh hari yang menyenangkan.

Jingga berjalan santai menembus hujan. Tidak peduli pakaiannya sudah basah kuyup dan rambutnya lepek. Efek terlalu bahagia, sampai-sampai air hujan pun tak terasa lagi dikulitnya.

Jingga berteduh di halte melihat hujan makin deras. Jingga sih tidak masalah dengan air hujannya. Yang Jingga permasalahkan, adalah geledek dan kilat petir yang tentu bisa menyambarnya kapan saja.

Lebih baik masuk angin daripada hangus dan gosong seperti telur ceplok yang sering Jingga buat.

Mata Jingga memperhatikan laju kendaraan yang berlalu lalang seiring deburan hujan yang semakin kencang, bibirnya membentuk lekukan senyuman, kecil namun tulus. Pikirannya melayang, membayangkan satu sosok yang akhir-akhir ini seringkali membuatnya senyum-senyum sendiri, seperti sekarang ini.

Langit Angkasa.

Si dingin, ketus, flat, tapi sukses membuat Jingga meleleh dalam hitungan sepersekian detik. Terlebih, karena kejadian kemarin. Rasanya susah untuk melupakan kejadian itu, akan selalu tersimpan rapi secara otomatis dalam memorinya.

Seorang Langit Angkasa, memberikan sapu tangan untuk Jingga yang seragamnya basah terciprat air.

Jingga tau sih, sapu tangan itu pun sebenarnya miliknya. Tapi setidaknya, Langit datang di waktu yang tepat 'kan?

Air hujan mulai mereda lagi, membuat Jingga akhirnya memutuskan untuk berjalan kembali membaur dengan rintik hujan.

Doa Jingga sepertinya terkabul. Orang yang dari tadi ia bayangi, kini hadir di depan matanya.

Meski buram, Jingga bisa melihat sosok Langit sedang berdiri di sebrang sana. Berdiri sembari memegang payung. Jingga rasa, ia perlu menghampirinya.

Namun, baru satu langkah Jingga berjalan, satu hal menghalanginya. Membuat langkah kaki Jingga terhenti.

Seseorang tengah berdiri disamping Langit, seorang gadis. Gadis yang Jingga kenal.

Jingga harap, ia hanya salah lihat. Jingga harap, gadis yang berdiri disamping Langit hanyalah hasil imajinasinya saja. Jingga harap penglihatannya salah. Jingga harap begitu.

Namun kenyataan sepertinya meledek Jingga, karena gadis yang Jingga lihat memang seratus persen nyata, benar adanya.

Kara.

Gadis itu, Kara.

Jingga tersenyum kecut, memperhatikan kedua orang yang tengah berbincang ria di seberang sana, di bawah payung dan diantara rerintik hujan.

Romantis sekali.

Sedangkan Jingga, disini hanya bisa tersenyum sembari menahan hatinya yang sakit dan teriris. Berharap petir menyambarnya dan membuat tubuhnya terkapar disini sekarang juga.

Sampai Jingga sadar, apa yang dilakukan Langit kemarin padanya, tidak sebanding dengan apa yang dilakukan Langit sekarang pada Kara.

Satu hal yang Jingga tahu sekarang, bahwa Kara memang teramat sangat spesial di mata Langit. Sementara Jingga? Ck, mungkin hanya sebuah sampah, dan Kara-lah permatanya. Permata pantas disimpan, dan sampah? Tentu saja dibuang.

Jingga yang malang.

Jingga memudarkan senyuman kecutnya, berusaha sadar kembali akan satu hal.

Dirinya dimata Langit,

hanya sebuah sampah.

"Kalau lo cuma anggap gue sampah, kenapa gak sekalian dibuang? Kenapa harus dulu diberi harapan? Harapan yang seharusnya lo tau dari awal, kalau itu menyakitkan."

⚫⚫⚫


Dengan sebuah payung di genggaman, Angga berlari menembus kerumunan hujan yang menghantam tubuhnya. Tujuan Angga hanya satu, berlari secepat mungkin menuju gadis yang tengah berdiri diam disisi trotoar, memandang kosong sesuatu yang entah apa yang dipandangnya.

Payung berwarna biru tua terbuka, berhasil melindungi sesosok gadis didepannya, gadis yang Angga sayangi selama ini.

"Jingga, lo ngapain sih disini?!"

Yang ditanya hanya diam, menampilkan seulas senyum sangat tipis. Tatapannya masih kosong sambil menghadap depan.

Sebelah tangan Angga menepuk bahu Jingga, menggoyang-goyangkan pelan berharap Jingga bersuara.

"Ngapain lo payungin gue? Gue gak butuh. Biarin aja air hujan ini ngehapus jejak air mata gue, biar gak ada barang seorangpun yang tau kalo gue nangis," ujar Jingga lirih, suaranya samar bercampur suara hujan.

Kening Angga berkerut, panik.

"Lo nangis?"

Bukan menjawab, Jingga malah meraih payung yang Angga pegang lalu menutupnya. Membiarkan keduanya terhantam hujan.

"Lo lagi kenapa sih, Ji? Lo bisa cerita sama gue," ujar Angga sedikit berteriak, berusaha agar suaranya dapat terdengar diantara deburan hujan.

Jingga menutup matanya rapat-rapat, lalu menangis lagi.

Jingga pikir, Angga tidak akan tahu bahwa dirinya tengah menangis. Tapi Jingga salah.

Suara sesenggukan Jingga membuat Angga tahu bahwa gadis itu tengah menangis. Dalam hitungan detik, Angga langsung meraih tubuh Jingga dalam dekapannya, membiarkan gadis itu menangis sepuasnya di bahunya.

Jingga rasa, ia harus mengeluarkan semuanya. Menumpahkan semuanya disini, lalu membiarkan semuanya hilang terbawa hujan.

Biarkan Jingga berada dalam posisi seperti ini untuk waktu yang lama. Jingga sadar, ia butuh sandaran. Dan Angga, adalah sandaran terbaiknya dari dulu.

"Makasih, Ga," ucap Jingga lirih disela tangisannya. Tangannya semakin erat mendekap tubuh Angga, meluapkan semuanya disini.

"Gue sayang sama lo, Ji. Sayang sama lo lebih dari apapun."

⚫⚫⚫

Langit Jingga (completed)Where stories live. Discover now