Chapter 2 (Pt. 2)

10 1 1
                                    

“Nuna” eh? Dia masih mencariku? “Nuna mau pulang? Nuna tidak mau mengajariku lagi?”

“Bukannya aku disuruh berhenti?” dia langsung terkejut.

“Te-ternyata Nuna sudah tau itu..” wah, kau sendiri tidak mau dijodohkan? “Ah! Tidak peduli! Ajari aku sekarang juga!” dia memegang pundakku dan membenturkanku ke dinding--ya! Apa-apaan?! “Ma-maaf, Nuna…” dia mundur beberapa langkah. “Ka-kalau Nuna memang tidak mau mengajariku, aku tidak akan mencari orang lain untuk megajariku. Tidak akan..” Jimin?

“Aku hanya menjalankan apa yang ibumu minta.. kau pun harus mematuhinya” matanya membesar.

“Tapi ibuku tidak mementingkan kebutuhanku! Yang kubutuhkan sekarang adalah Nuna, yang harusnya mengajariku dari tadi!” dia menyisir rambutnya dengan jarinya sambil mendengus. ‘yang kubutuhkan sekarang adalah Nuna’ Jimin.. Jimin.. bahasamu.

“Kau mau aku mengajarimu, baik. Aku akan tetap mengajarimu seperti biasa. Tapi, kau harus menyembunyikan hal ini di depan ibumu. Kau tentunya tidak mau aku dimarahi oleh ibumu, ‘kan?” senyumlah seperti itu terus, anak baik.

“Ne! Terima kasih, Nuna!!” dia bahagia sekali seperti anak kecil yang mendapatkan permen.

*

“Jimin, ini rumus yang kita pelajari waktu di SMP. Ingat ‘kan? Kau harus menyamakan satuannya menjadi….” Ah, sangat cantik. Tapi lebih sangat disayangkan lagi, karena Nuna secantik dan sebaik ini harusnya diabadikan sepanjang masa. “Hei, diwajahku tidak ada rumus. Tidak perlu kauamati” ah, tertangkap basah.

“Ba-baik” kalau memotretnya dengan handphone, aku pasti dihajar habis-habisan. Oh, iya. Aku baru saja membeli sketchbook yang pastinya akan lebih indah kalau didalamnya kugambar Saelin Nuna. Ya, aku harus menggambarnya--tapi harus sembunyi-sembunyi.

“Sebaiknya kuambilkan kau grafiknya, tunggu sebentar” ya?! Bagaimana aku menggambarnya? Ah, aku harus mengingatnya baik-baik! Mata yang lebar dengan kantung mata--hei, kenapa aku menggambarnya seperti mataku?! Lalu tulang pipi yang menonjol--itulah point yang paling kusukai dari Saelin Nuna--dan lesung pipit di kiri yang mampu menyedotku. Jangan lupa, harus tirus! Karena itu kegagalanku yang paling sering terjadi--payah!

Kumasukkan gambaran tercepatku ini--karena aku takut Nuna akan segera kembali, aku menggambarnya hingga berkeringat dingin--kedalam amplop dan pura-pura ke toilet dan tidak tahu ada yang masuk kesini. Oh, no. Saelin Nuna kembali. “Nuna~”

“Ne?” semoga dia tidak curiga.

“Sepertinya ada yang datang kesini, tadi. Lalu meletakkan amplop ini dimejamu” wajah bingungnya sangat lucu.

“Untukku?” tanyanya sambil membetulkan barang aneh yang dibawanya.

“Sepertinya. Siapa yang mau mengirimiku surat seperti ini?” tidak ada jawaban. “Kalau ini surat cinta-”

“Kalau ini punyaku, harusnya kau tidak menyentuhnya. Lagipula ini pasti iseng-isengan temanmu, Jungkook si doktor* itu” heol~ ini dariku, Nuna~ “Berikan padaku” hei, tanganku bergetar. Aku merinding hebat. Nuna membukanya--aku tidak bisa bernapas.

“Wah, indah sekali. Ini, kau perlu melihatnya!” dia menyodorkan gambar itu--aku menahan tawaku dari tadi.

“Ne, gambar itu sangat persis sepertimu, Nuna” sepertinya dia menyukainya.

“Kuharap dia yang memberinya padaku..” eh?

“Dia siapa?” dia punya seseorang yang disukainya? Sia-sia aku menggambarnya.

“Ah, dia” tidak dijawab. Oh, aku tahu.

“Mungkin itu dari..” seketika dia menoleh.

“Ada inisialnya diujung sini!” akh. Ayo. Berpikir.. berpikir..! siapa lagi yang mempunyai inisial JM selain aku?! Bodoh! Kenapa aku tetap memberi tanda copyright di gambar itu?! “Semoga memang dia. Menurutmu siapa, Jimin?”

“Ee, kalau aku jadi Nuna, aku akan mencari semua orang dengan inisial itu..” Pabo! Jimin pabo! Aku ingin menampar wajahku sendiri. Akh!

“Ngomong-ngomong, kau juga JM, ‘kan?” andwae~! Ayo, berpikir berpikir berpikir!

“Jangan bercanda, aku tidak bisa menggambar sebagus itu..” keringatku bercucuran.

“Sudahlah, kau harus pulang sekarang. Sudah cukup untuk hari ini” aku lega.

“Ba-baiklah, Nuna pulang sendiri?” sudah sore, tidak baik pulang sendiri.
“Ne. jangan menjemputku besok pagi, ya? Temanku mengira kita berpacaran karena aku keluar dari mobilmu” ya ampun. Tawaku menggema di kelas ini. Oh Tuhan. Lelucon apa itu? “Berhenti tertawa. Kau jelek saat tertawa”

“Apa urusannya denganmu? Itu memang hal yang lucu, dan aku pantas tertawa” kulanjutkan tertawaku dan Nuna memukulku.

“Tidak lucu!” aku ingin mengukur panjang bibirnya sekarang yang di’pout’kan.

“Oh, kau tidak mau berpacaran dengan orang bodoh sepertiku, begitu?” Nuna menoleh.

“Kau mau cari masalah dengan ibumu? Kau mau menertawaiku sampai ibumu datang kesini?” ah, Eomma. Ini sudah jam setengah 3. Sebaiknya aku pulang.

“Ah, tidak. Baiklah, aku pulang dulu. Annyeong~” aku akan menggambar Nuna lagi. Sampai aku tidak bisa melihatnya lagi. 

Draw Me (Ft. Park Jimin) Where stories live. Discover now