SINHA'S HEART

428 32 4
                                    

Author's note : Mulmed di atas itu senjata nya Sinha, pedang rembulan. maaf kalo deskripsinya nggak pas atau nggak sesuai.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Ilana membiarkan Sinha membalut bahunya. Pendarahannya sudah berhenti dan rasa nyerinya berangsur hilang. Sama seperti sang matahari yang mulai tenggelam. "Itu Bunga Liliac, kan?" tanya Ilana saat Sinha membersihkan kelopak bunga yang berceceran. Beberapa tangkai yang masih utuh disimpan pemuda itu.

Sinha mengangguk membenarkan. "Kupikir itu obat untuk flu." Ujar Ilana. Sinha tersenyum tipis, "Ini bisa mengobati segala luka dan penyakit, bukan hanya untuk flu. Bunga Liliac tumbuh di tempat yang sejuk, seperti lereng gunung, hutan, atau perbukitan." Terang Sinha.

Ilana mengangguk mengerti. Ia berusaha menatap lukanya yang sudah dibalut rapi. "Bagaimana dengan..." ucapannya yang mau menanyakan luka di bahu Sinha terhenti ketika melihat bahu pemuda itu sudah tidak lagi berdarah. Luka sayatnya menutup, namun masih membekas. "Bagaimana bisa? Kau kan belum mengobati lukamu?" tanyanya.

Sinha terdiam sejenak. Ia duduk di samping Ilana dan menghela nafas. "Aku ini terikat denganmu." Ujarnya. Ilana mengernyit bingung, "Ha?" gumamnya. Sinha mendongak, menatap langit dengan tatapan menerawang. "Tugasku sejatinya memang melindungimu dari sang penguasa kegelapan. Agar ketika waktunya tiba, kau bisa membunuhnya. Sesuai yang pernah kau katakan, hal itu tersirat dalam ramalan. Aku bahkan...terlahir tanpa jantung." Ujarnya.

"Maksudmu?" tanya Ilana, spontan. "Menurutmu kenapa kulitku sepucat ini? Itu karena darah yang ada dalam diriku tidak sebanyak dan senormal manusia lain. Orang tuaku pernah bilang ini adalah takdirku. Tanpa jantung yang merupakan organ vital, membunuhku akan menjadi sangat sulit. Dengan begitu, aku bisa melindungimu dengan baik." Jawabnya.

Ilana menunduk terharu, "Apa itu artinya...kau tidak bisa mati?" tanya Ilana. Sinha tersenyum pahit. "Aku bilang membunuhku adalah hal yang sulit. Aku tidak bilang aku tidak bisa dibunuh." Koreksinya. Sinha menarik nafas, "seperti tadi, aku juga tidak masalah dengan luka, tapi jika kau yang terluka, itu akan sangat mempengaruhiku." Lanjutnya.

Hening setelah itu. Ilana larut dalam pikirannya sendiri. Bagaimana bisa seperti ini. Sinha sepertinya sudah melalui hidup yang berat. Dan ternyata yang sebenarnya jauh lebih buruk? Hidup tanpa jantung? Ilana tidak akan bisa membayangkannya.

Ilana menarik nafas, lalu mendongak. "Aku akan membebaskanmu." Tandasnya. Sinha menoleh padanya sambil mengernyit bingung, "Apa?" gumamnya. Ilana balas menatapnya, "Suatu saat nanti, aku akan menemukan cara agar kau tidak terikat denganku. Agar jika aku terluka, hal itu tidak akan mempengaruhimu." Tekadnya.

Sinha terdiam mendengarnya. Sampai akhirnya ia sadar ia dan Ilana masih bertatapan. Dengan kikuk, ia mengalihkan pandangan. "Yah...untuk sekarang, kita pikirkan saja apa yang ada. Kita akan bermalam disini. Aku akan mencari beberapa buah dan kayu bakar." Putusnya, lalu bangkit dan berjalan menjauh.

Ilana terdiam di tempatnya. Ia meraba luka di bahunya. Lalu teringat pada Sinha.

----------------------------

Mereka hanya melahap beberapa buah untuk makan malam. Api unggun yang dibuat Sinha bersinar temaram ditengah kegelapan hutan. Suara daun bergemerisik menemani mereka. Sudah hampir tengah malam, namun kantuk belum menyerang mereka. Sinha sibuk mengusap usap pedangnya yang bersinar keperakan ditimpa cahaya bulan. Sementara Ilana menggambar gambar tanah dengan sebuah ranting di samping Sinha.

Legend of the Sun and MoonDonde viven las historias. Descúbrelo ahora