[1] Lebih dari Sakit

30.9K 1.8K 91
                                    

Aku menyusuri tempat parkir yang gelap ini. Melangkah dengan terburu di atas eskalator berjalan agar diriku tak membuatnya menunggu. Saat aku tiba di tempat janjian kami, aku tak melihat batang hidungnya. Tak melihat pria dengan kemaja tartan hijau. Aku bersyukur ia belum datang, karena aku yang membuat janji harus tiba lebih dulu, setidaknya teori itu yang kugunakan selama hidup 24 tahun belakangan.

Aku memesan red velvet cake dan moccacino agar terlihat etis saat aku menunggu sesorang di bakery and coffe shop ini.

Napasku memburu. Entah karena aku yang terburu untuk sampai sini sehingga aku berlari kecil atau karena memikirkan topik pembicaraan yang akan aku angkat nanti. Mungkin kedua hal itu yang membuat napasku memburu dan debaran jantung ini yang tak terkendali.

Karena sibuk menenangkan napas dan mengendalikan detak jantung, aku sampai tak sadar kalau ada seseorang yang duduk di hadapanku.

"Sorry, telat banget ya?" tanya seseorang diiringi dengan suara berdecit dari kursi kayu mahoni yang tersedia di hadapanku.

Aku tersenyum tipis lalu menggeleng. "Lumayan, sampe kopi gue tinggal tiga per empat," ujarku ringan sambil menatapnya hangat, sama seperti tatapannya.

"Kalau gue kasih alasan macet pasti lo bakal bales, orang bule juga tau Jakarta macet, retro banget alasan lo!" Aku tertawa kecil saat mendengar ia mengucapkan hal yang pernah kuujarkan 6 tahun yang lalu, saat kami masih pakai baju kebanggaan kami, putih-abu.

Mendengarkan perkataannya, seketika rindu yang sudah mengakar dan timbun di dasar terdalam hatiku merangkak naik. Membuat mataku terasa pedih. Aku menarik napas perlahan, untuk meredakan gejolak ini sebelum aku kembali melanjutkan pembicaraan.

"Padahal tadi gue udah telat, tapi tetep ya, rajanya ngaret ada di diri lo." Aku tersenyum saat mendengar ia tertawa renyah. Tawa pertama setelah waktu yang lama sekali.

"Jadi gimana nih Ibu Camat, ada yang bisa Aldi bantu?"

Dia tersenyum saat bertanya seperti itu, tapi aku tahu arti senyum itu. Senyum meledek khas Achmed Aldino Riyadh.

Aku membalas pertanyaan dengan mendengus. Malas jika harus membalas pertanyaan itu.

Sedari dulu aku memang ingin sekali jadi PNS. Entah karena alasan apa. Mungkin karena Ayah dan Mamaku adalah seorang Abdi Negara, jadi aku ingin menjadi salah satu tameng bagi negeri ini. Tapi hal itu malah menjadi bahan guyonan Aldi--nosaurus. Ia tidak pernah mendukungku yang ingin menjadi pegawai negeri sipil. Dimulai dari ia yang selalu menakut-takuti aku tentang kekejaman senior di IPDN. Meremehkan aku yang tidak bisa gambar, sehingga saat tes CPNS aku akan gagal, dan masih banyak lagi hal-hal aneh yang diucapkannya. Tentu saja omongannya hanya kuanggap angin lalu. Buktinya saat ini aku berhasil menjadi PNS. Walau bukan jebolan dari IPDN.

"Lo sekarang masih nganggur?" tanyaku membuat ia yang sedang menikmati cappuchino-nya tersedak.

Seketika membuatku panik. Aku langsung berdiri di sampingnya dan menepuk-nepuk punggungnya dan meniup ubun-ubunnya.

"Sialan lo kalau ngomong. Emang tampang gue ada tampang pengangguran apa?" hardiknya saat suara batuk itu tak terdengar lagi.

Aku terdiam sebentar, "Gue liat di instagram lo. Gue nggak pernah liat lo di kantor atau di pabrik atau di studio atau di manapun yang menunjukan kalau lo itu kerja," ujarku memberi jeda. "Lagian location lo selalu di tempat makan."

"Jadi sekarang lo udah nggak block instagram gue lagi nih?" tanyanya menyeringai. Aldi memang paling tahu cara menghadapiku. Dengan sindiran seperti ini memang akan memukul telak diriku.

JannisaWhere stories live. Discover now