Part 39

1.3K 59 2
                                    

Ayah menghampiri Zoya yang sedang menyantap sarapannya. "Ayah senang jika kamu akan segera menikah dengan Arva."
"Iya ayah." Ujarnya di sela-sela sarapan.
"Sepertinya putri ayah terlihat tidak bahagia." Goda ayah.
"Ayah, aku kan lagi makan. Aku bahagia kok." Zoya beranjak dari bangku dan membawa mangkuk kotor untuk dia cuci.
"Ayah sudah yakin, bahwa Arva akan bisa menghapus segala kesedihan kamu."
Zoya kembali mencerna perkataan ayahnya. "Maksud ayah?"
"Ayah tahu, kamu sangat mencintai Belva. Tapi sekarang? dia sudah meninggalkanmu. Kamu tidak bisa terus menerus menunggunya. Kamu harus memiliki pendamping yang baru."
Zoya mematikan keran airnya dan berbalik menatap ayah dengan penuh kelembutan dan senyum di wajah. "Iya ayah, aku ngerti."
Ayah menghampiri Zoya dan memeluk putrinya yang semakin dewasa. "Teruslah tersenyum."
Zoya sangat menikmati setiap pelukan ayahnya yang semakin lama jarang dia dapatkan. Sejak kecil hingga dewasa, orang yang paling dekat dan mengerti dirinya hanyalah ayah.
"Ayah, hari ini aku ada pemotretan untuk prewed."
Ayahnya melepaskan pelukan putrinya. "Kapan Arva akan menjemputmu?" tanya ayah penuh perhatian.
Zoya mengangkat bahunya dan menggelengkan kepala.
"Dimana kalian akan foto?" tanya ayah kembali.
"Di pantai." Jawab Zoya ceria.
Ayahnya mengiyakan pernyataan Zoya.
"Yaudah ya ayah, aku mau siap-siap dulu." Zoya melangkah pergi ke kamarnya.

Ketukan pintu mulai terdengar samar. Volume suara musik yang Zoya putar terlalu keras, sehingga butuh beberapa saat untuk mengetahui dengan jelas ada seseorang yang mengetuk pintu.
"Ya ayah, tunggu." Zoya menghampiri pintu kamarnya.
Saat membuka pintu, terlihat satu bouquet mawar merah menutupi wajah seseorang yang sedang berdiri di depan pintu kamar Zoya.
"Arva aku tahu itu kamu." Zoya menarik lengan Arva.
"Ini untuk kamu." Arva memberikan bunga mawar itu pada Zoya.
"Thank you." Zoya memeluk Arva.
Arva mengecup kening Zoya dengan mesra. "Hari ini kamu tidak lupa kan?"
"Aku sudah siap nih." Zoya menunjuk koper yang cukup besar di sudut kamarnya.
"Sebanyak itu?" Arva menahan tawanya.
"Iya... emang kenapa? aku perempuan kali, beda sama kamu." Zoya berkacak pinggang dan menatap Arva kesal.

Arva dan Zoya hendak berpose untuk pengambilan foto di pantai. Entah mengapa laki-laki yang bertugas untuk memotret mereka menurunkan kameranya.
"Ada apa ya mas?" Arva tampak kebingungan.
"Kalung yang Zoya kenakan berlambang huruf B dan Z. Jika saya close up wajah kalian, akan terlihat aneh untuk foto prewed. Karena nama calon pengantin diawali dengan huruf A dan Z."
Zoya tidak menyadari bahwa dia masih mengenakan kalung pemberian Belva. Mengerti maksud sang pemotret, dia pun melepaskan kalung itu dengan tangannya sendiri.
"Sumi, tolong pegang dulu kalungnya Zoya." Teriak laki-laki itu pada asistennya.
"Tidak perlu." Arva menahan langkah Sumi untuk mendekat. "Berikan padaku." Dia merentangkan telapaknya kepada Zoya.
Zoya memberikan kalung itu pada Arva dengan tangan yang gemetar.
"Sudah bisa dimulai ya?" teriak pemotret. "Satu...dua...tiga."

Arva menghampiri Zoya yang sedang terduduk di bebatuan sekitar pantai.
"Ini." Arva merentangkan tangannya kembali.
Zoya menatap sedih kalung itu.
"Simpanlah. Aku tahu kalung ini sangat berarti untukmu."
Zoya mengambil kalung itu dari tangan Arva dengan penuh keraguan.
Arva menarik napas panjang dan menatap indahnya laut. "Kita tidak perlu membuang masa lalu untuk melanjutkan masa depan."
Zoya menoleh ke arah Arva. "Kalung ini memang sangat berarti untukku, sangat berarti. Tapi itu dulu, sekarang tidak lagi."
Tatap Arva tidak percaya.
"Mungkin ucapan kamu benar. Tapi aku tidak bisa melanjutkan hidupku yang baru, jika masih ada kenangan Belva yang tertinggal."
"Kamu tidak bi..." tatap Arva khawatir.
"Arva, kamu tidak perlu cemas. Aku bahagia dengan kamu sekarang, aku tidak ingin masa lalu menghancurkan hubungan kita." Zoya menyentuh punggung tangan Arva dengan lembut.
Arva pun membalikkan punggung tangannya dan merapatkan jemarinya di sela jemari Zoya.
"Jika dengan begitu kamu akan bahagia, maka lakukanlah."
"Ayo kita pulang, ini sudah sore." Zoya bangkit dari duduknya.
Arva dan Zoya pun pergi dari pantai itu.

Seseorang datang ke bebatuan yang Arva dan Zoya tinggalkan. Laki-laki itu menatap tubuh mereka yang semakin menjauh dari belakang. Dia melihat kalung berlambang huruf B dan Z yang tergeletak begitu saja diatas batu.
Seketika, kenangan tentang pemberian kalung itu terlintas di pikirannya.
"Kamu benar-benar melupakan aku Zoya." Belvara menggenggam erat kalung itu.

Arva mengantar Zoya dengan selamat sampai rumahnya.
"Mampir dulu yuk?" tawar Zoya.
"Aku langsung pergi aja ya, sore ini banyak pasien di rumah sakit."
"Oh yaudah..." Zoya tampak kecewa.
"Gapapa kan? besok kamu fitting gaun pengantin jam berapa?" tanya Arva lembut.
Zoya melirik ponselnya sesaat. "Jam dua siang."
"Yaudah, nanti aku langsung ke boutique ya." Arva mengusap pipi Zoya.
"Kenapa kamu tidak jemput aku? kita berangkatnya bareng aja Arva." Pinta Zoya manja.
"Tidak bisa, besok pasien aku operasi besar. Kita ketemuan aja ya di boutique."
"Yaudah..." Zoya tetap memasang raut wajah kecewa.
"Senyum dong." Arva menyentuh ujung bibir Zoya dengan tangannya.
Zoya pun tersenyum manis padanya saat melihat tingkah konyol Arva.
"Yaudah, kamu hati-hati ya."
Arva memeluk Zoya dengan sangat mesra. "I love you."
Jawaban yang di tunggu-tunggu Arva hanyalah sebuah angan baginya. Zoya melepaskan pelukan Arva sambil tetap tersenyum. "Bye." Zoya keluar dari mobil Arva. Kaca mobil pun terbuka perlahan dan Zoya tetap berdiri pada tempatnya. Arva melambaikan tangan pada Zoya, begitupun sebaliknya.

Ponsel Arva berdering saat dalam perjalanan menuju rumah sakit.
'Belva.' Arva memandang layar ponselnya.
"Ya, Belv?" Arva membuka pembicaraan.
"Kita ketemuan di taman."
"Gua banyak..."
"Sekarang."
"Tunggu, tapi..."
Panggilan Belva terputus begitu saja. Mau tidak mau, suka tidak suka, Arva harus menemui Belvara.
Dia pun menghubungi pihak rumah sakit. "Tolong praktek saya hari ini di cancel ya. Makasih"
Mobilnya melaju cepat ke arah yang sudah Belvara tentukan.

Arva sudah sampai di taman, namun tidak ada siapapun yang terlihat dengan matanya. Seketika, Arva mendengar suara langkah kaki yang mendekat dari balik tubuhnya. Dia pun menoleh ke arah tersebut.
"Belva, kenapa lo minta gua datang kesini?" tanya Arva bingung.
Belva memperlihatkan kalung yang dia berikan pada Zoya tepat di hadapan Arva. "Lo yang minta dia untuk ngelepas kalung ini?"
Arva mengatakan bahwa dia sama sekali tidak pernah meminta Zoya untuk melepas kalung itu, namun usahanya untuk menjelaskan tidak di percaya oleh Belvara.
"Gua udah rela ngelepas Zoya buat lo! tapi lo buat gua benar-benar menghilang dari hidup Zoya!" Belvara mendaratkan pukulannya di wajah Arva. Dengan perlakuan Belvara, Arva tidak melawannya sama sekali, dia tahu bahwa kondisi Belvara sangat lemah.
Arva terjatuh di rerumputan taman. "Kalau lo masih cinta sama Zoya, kenapa lo tidak perjuangin dia? gua sama sekali tidak pernah memaksa Zoya buat cinta sama gua." Kata Arva tenang.
"Kalau kondisi gua tidak seperti ini, gua tidak mungkin melepaskan Zoya kepada siapapun, termasuk lo!" teriak Belvara emosi.
Arva bangkit dari jatuhnya. "Kalau lo mau, gua bisa batalin semua rencana pernikahan gua sama Zoya."
"Tidak, sampai lo ngelakuin hal itu dan buat Zoya jadi sedih, gua sendiri yang akan habisin lo." Kata Belvara penuh dengan amarah.
Arva terdiam saat Belvara meninggalkan dirinya. Tidak perlu lagi diingatkan. Arva sudah mengerti, dirinya tidak akan membuat Zoya menjadi sedih.

Regrets of LoveWhere stories live. Discover now