PART 3

88 2 0
                                    

Keesokan harinya aku datang menemui Pak Sujo. Rumahnya lumayan jauh dari rumah keluarga Wiranda, kira kira 70m. Lumayan jauh karena aku berjalan kaki.

Sebelum masuk, aku ketuk pintu rumah Pak Sujo. Tapi tak ada yang merespon dari dalam. Ternyata pintunya tidak dikunci, langsung saja aku masuk.

Pandanganku langsung tertuju pada ruangan gelap bernuansa coklat. Ada kendi, dan nampan - nampan berisi kembang. Sebenarnya apa ini? Praktek dukun? Atau apa?

"Mau apa kamu kesini?", aku menoleh ke belakang, ke arah suara berat itu berasal. Yang kulihat adalah seorang kakek dengan baju yang agak kotor, menggunakan caping di kepalanya, lengkap dengan cangkul di tangannya.

"Pak Sujo ya?", tanyaku dengan polos, dengan raut wajah yang masih bingung. Aku menatap Pak Sujo dari ujung kepala sampai ujung kaki yang juga menatapku sedari tadi.

"Iya saya Sujo. Ada maksud apa kamu datang kemari?", tanya pak Sujo.

Langsung saja aku jelaskan apa maksudku datang ke rumah pak Sujo. Ya, aku kesini untuk mengetahui bagaimana cara masuk ke lubang misterius itu dan aku juga ingin tahu semua cerita petualang yang hilang. Karena aku yakin, dari semua masalah ini, pasti ada jalan keluarnya.

"Oh, jadi itu maksud kedatangan kamu. Baik, akan saya beritahu caranya. Mudah saja, kamu harus mengambil 5 lembar daun suji, kamu rebus. Air rebusannya kamu tuangkan pada lubang itu sambil mengucapkan mantra. Nanti saya tuliskan mantranya.", begitu penjelasan panjang dari pak Sujo. Aku bergegas mencari 5 lembar daun suji. Setelah mendapatkannya, aku pulang dan merebusnya.

Awalnya, pak Wiranda bertanya padaku untuk apa merebus daun itu. Dari raut wajahnya, aku bisa melihat kecurigaan yang ada dalam diri pak Wiranda. Tapi ini satu - satunya cara untuk menyelamatkan mereka yang terperangkap disana, entah dimana.

Pukul 11 siang, masih ada banyak waktu. Aku pergi, membawa tasku yang berisi pakaian - pakaian.

Tak berapa lama, aku sampai di hutan di mana lubang itu berada. Aku mengeluarkan secarik kertas yang berisi mantra yang telah ditulis Pak Sujo. Selain itu aku juga mengeluarkan botol berisi rebusan air daun suji. Sambil menuangkan air rebusan itu ke dalam lubang, aku membaca mantra - mantra aneh itu. Walaupun bacanya agak tersendat - sendat karena mantra itu menggunakan bahasa jawa.

Tapi akhirnya, yeay! Lubang itu terbuka perlahan semakin dalam dan semakin besar. Ada sebersit cahaya yang keluar dari dalam lubang itu, tanpa membuang waktu, aku lompat dan..

BUG!

Aku jatuh entah dimana, jelas yang aku rasakan sakit di pinggang dan kakiku dan seketika semua menjadi gelap.


***

"Saya dimana?" tanyaku pada wanita berumur sekitar 60 tahunan di sampingku. Entah dimana, yang jelas tempat ini kumuh, temboknya dari bambu, dan ruangannya sangat kecil.

"Tadi kamu pingsan, ibu nemuin kamu di sawah pas ibu lagi tanem padi. Ibu kasian makanya ibu bawa kamu kesini. Ini rumah ibu, maaf ya kalau kecil dan tidak nyaman." jelas ibu itu panjang lebar.

"Nama ibu siapa? Saya Denza bu."

"Ibu Wati. Panggil saja ibu Wati. Kamu datang dari mana ya?"

Pertamanya aku bingung bagaimana menjawabnya. Apa aku harus jujur? Akhirnya aku menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Aku dapat melihat raut wajah kaget di wajah ibu Wati. Apa dia tahu tentang misteri para petualang yang hilang? Apa sebaiknya kutanyakan saja? Tapi mungkin bukan sekarang waktu yang tepat. Aku juga masih kelelahan. Maka kuputuskan untuk istirahat. Mungkin besok pagi kondisiku akan lebih baik.


***


Keesokan paginya aku bangun dan mendapati ibu Wati sedang memasak di dapur. Aku menghampirinya dan bertanya apa yang tengah ia masak. Ternyata Ibu Wati memasak sayur kangkung balacan serta tempe dan tahu goreng, tak lupa sambal terasi.

Selesai sarapan aku berniat untuk mandi karena badanku sudah terasa sangat lengket. Tapi saat aku kembali ke kamar, aku tak mendapatkan tas dan handphoneku. Aduh gawat!

"Bu Wati, liat tas dan handphone saya?" tanyaku pad Ibu Wati.

"Tas? Ibu sih kurang tau, neng pingsan ga bawa apa-apa. Kalo tadi? Apa namanya tadi? Hempon? Apaan tuh neng?" tanya Ibu Wati polos.

"Handphone bu, buat nelfon, buat menghubungi orang. Masa ibu ga tau? Ibu ga pake handphone? Ini tahun berapa buuu."

"Aduh Ibu ga tau neng. Emang itu barang canggih ya? Kan menghubungi orang pake surat. Ini kan masih tahun 1951." kata Ibu Wati sambil menggaruk tengkuknya yang kuyakinkan 100% tidak gatal.

"APA BU? 1951? JADI SAYA DI MASA LALU? OH MY GOD!" kataku yang lebih mirip dengan teriakan.

"Lah kan kemarin ibu sudah bilang. Kamu ada di masa lalu. Kamu sendiri yang bilang kalau kamu datang dari tahun 2014 dan datang kesini karena ada tujuan. Kamu lupa? Pasti kemarin kamu kelelahan jadi tidak konsen dengan kata-kata ibu."

"Iya bu? Aduh parah, saya lupa sama sekali." kataku sambil menepuk keningku agak keras.

Terpaksa aku memakai baju milik almarhumah Ibu Rosalin. Ibu Rosalin adalah adik Ibu Wati yang meninggal saat dijajah Belanda. Waktu ia meninggal, usianya sama sepertiku sekarang, dan untungnya ukuran tubuh kami sama. Aku sangat pas dengan bajunya. Walaupun sedikit kampungan, setidaknya lebih baik aku menggunakan ini daripada menggunakan baju yang sama dengan kemarin, bau!

Aku meminta Ibu Wati untuk menemaniku jalan - jalan keliling desa Cerengareng. Tapi ia bilang bahwa akan menanam padi seperti biasa karena memang itulah pekerjaan petani. Jadi aku putuskan untuk berjalan seorang diri.

*

*

*

Sorry ya part ini agak gaje gitu, soalnya lagi ngurusin UN nih, jadi agak mumet otaknya. Tetep baca ya. Oke? Maaf kalo jarang - jarang ngepost, mohon dimaklumi:)

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 09, 2015 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

LOST (ON HOLD)Where stories live. Discover now