Beautiful Garden

36.6K 115 3
                                    


Beautiful Garden



Tap-tap-tap ....



Langkah kakiku memecah keheningan di stasiun kereta Tokyo. Beberapa orang memandangku dengan sinis, merasa terganggu dengan hentakkan kakiku. Namun aku tidak peduli, yang ada di pikiranku hanya sosok berambut pirang pendek yang sedang menantiku. Begitu sampai di salah satu gerbong kereta, mataku mencari-cari gadis yang ada di pikiranku saat ini.



"Ayaka ... Aku merindukanmu," gumamku sambil terus mencari-cari sahabat yang telah lama kurindukan.



Aku dan Ayaka telah bersahabat cukup lama. Ketika kami naik ke kelas 4 SD, Ayaka harus pindah sekolah karena pekerjaan ayahnya. Dan jujur saja, kepindahan Ayaka benar-benar merusak mood belajarku. Nilai-nilaiku sempat turun karena moodku yang tidak baik itu.



Akhirnya mataku menangkap sosok gadis berambut pirang pendek. Iris hazel gadis itu bertemu dengan iris emraldku. Gadis itu segera menghampiriku yang menunggunya di depan pintu kereta.



"Ayaka!" seruku bahagia. Kupeluk sahabat yang telah terpisah dariku selama lima tahun itu.



"Hiraku! Aku senang kau menungguku di stasiun," ucap Ayaka. Tangannya menepuk punggunggku berulang kali.



"Yah, ayo pulang. Aku tak sabar menceritakan berbagai hal padamu," ucapku seraya menyeret tangan Ayaka dari segerombolan orang yang memenuhi stasiun.



Matahari bersinar amat terik siang itu, kuputuskan untuk cepat-cepat sampai ke dalam rumah. Ayaka menginap di rumahku hari ini, karena orang tuanya masih menyelsaikan urusan.



"Cepatlah sedikit kalau jalan, hari ini panas sekali!" seruku yang beberapa langkah di depan Ayaka.



Ayaka menyingkirkan keringat yang mengalir di keningnya. "Kau ini tak mau sabaran!"



BRAK!



Tiba-tiba saja, langkahku terhenti ketika melihat sebuah tragedi yang tak terduga. Beberapa meter di depanku, sebuah truck menabrak sebuah mobill yang melaju berlawanan arah. Tubuhku terpaku, kebingungan apa yang harus kulakukan. Keadaan di jalan raya waktu itu sedang sepi. Hanya aku, Ayaka, dan beberapa orang yang kebetulan lewat yang berada di sana.



"Hiraku! Kau pulanglah, aku akan menyusul," ucap Ayaka sesaat sebelum dia berlari mendekati mobil dan truck yang bagian depannya hancur tersebut.



"Tunggu, apa yang akan kau lakukan? Kau yakin agar aku pulang duluan?" tanyaku sedikit berteriak karena Ayaka telah jauh dari posisiku.



"Pergi saja, aku akan membantu mengeluarkan orang yang terjebak di dalam mobil itu!" seru Ayaka dari kejauhan.



Aku terdiam sejenak, lalu memilih jalan memutar untuk pulang ke rumah.


***



Pukul enam sore, Ayaka belum datang juga. Perasaan cemas seketika menyelimutiku. Pikiran-pikiran negatif bermunculan. Apa Ayaka dibawa gerombolan preman ketika dalam perjalanan? Aku tahu Ayaka itu gadis yang cantik. Sedari tadi, aku mondar-mandir di depan pintu rumah, bingung dengan keadaan Ayaka.



"Semoga dia baik-baik saja," harapku dalam hati.



"Hei, mengapa kau mondar-mandir begitu? Kau baik-baik saja, kan?" tanya sebuah suara yang tak asing lagi bagiku. Segera kubalikkan badanku, kemudian terlonjak kaget begitu sosok yang kunanti-nantikan akhirnya berdiri di depanku.



"Yokatta, akhirnya kau pulang juga. Kau tahu, aku mulai berpikir yang bukan-bukan karena kau belum sampai di sini. Dasar, jangan membuat orang cemas setengah mati begini dong!" semburku tak sabar, "dan apa itu?" mataku tertuju pada kantong plastik hitam yang berukuran sedang di tangan kanan Ayaka.



Gadis berambut pirang itu menyembunyikan kantong plastik yang ia pegang. "Hehe, bukan apa-apa. Hei, kau tak mengajakku masuk?" tanya gadis itu sambil memasang wajah cemberut.



"Ya ya, silahkan masuk, Nona." Aku membuka pintu dan mempersilahkan Ayaka masuk.


***



Tap-tap-tap ... ceklek!



Terdengar suara langkah dan pintu tertutup. Kugerakkan kepalaku, memastikan kesadaranku telah terkumpul seluruhnya. Mataku perlahan terbuka, yang kulihat adalah ranjang yang ditempati Ayaka kosong. Sontak aku bangkit dari posisi tidur. Kakiku menginjak lantai, dan perlahan melangkah ke ranjang Ayaka. Dia meninggalkan tas plastik hitam yang diikat dengan simpul mati di atas kasur. Tiba-tiba saja rasa penasaran menyerangku. Aku ingin tahu apa isi dari tas plastik itu. Kuraih tas plastik itu perlahan-lahan. Keringat dingin bercucuran dari kening hingga merambat ke dagu. Jari telunjukku menyentuh tas plastik itu. Perlahan jari-jariku yang lain mendarat di sana. Perlahan kusobek tas plastik itu tanpa menimbulkan suara. Konsetrasi penuh kuarahkan pada tas plastik itu. Sedikikit demi sedikit isinya mulai terlihat.



Mataku membulat sempurna, nafasku tercekat, tubuhku membeku. Keringat dingin makin deras membanjiri wajahku. Yang kulihat adalah sebuah tangan ... Ya, tangan ... Lengkap dengan darahnya. Kalau dilihat dari darahnya yang masih belum kering, sepertinya potongan tubuh ini masih baru.



"Ayaka? Dia menyimpan benda seperti ini?" tanyaku sambil melangkah mundur. Yang ada di benakku hanya ada satu pertanyaan. Apakah Ayaka seorang psikopat?



"Yah, aku tak menyangka sahabatku sendiri berani membuka barang pribadiku," ucap sebuah suara di belakangku. Sontak aku membalikkan badan, kudapati Ayaka telah berdiri tegap dengan sebilah pisau di tangannya.



"Ay ... Ayaka? K-kau, bukan psikopat, kan?" tanyaku gugup. Tubuhku bergetar hebat.



"Maaf mengecewakanmu, Hiraku-chan. Potongan tubuh itu, memang aku yang memotongnya. Simpulkan saja sendiri, siapa aku sebenarnya."



Suasana di antara kami hening, namun tak berlangsung lama. Ayaka mengangkat pisaunya dan mengayunkannya menyayat lengan bawah kananku. Kaki kiriku melangkah mundur, tangan kiriku mencengkram tangan kananku yang mengeluarkan darah.



"Apa yang ... Terjadi padamu?" tanyaku sedikit ketakutan melihat sisi gelap sahabatku itu.



Gadis tak menjawab, dia malah menyambar buku novel tebal di atas meja belajarku dan menhantamkannya ke kepalaku. Setelah menerima hantaman itu, kepalaku terasa pusing. Pandanganku mulai memburam, kakiku bergerak dengan oleng. Beberapa detik kemudian, mataku terpejam dan akupun ambruk.


***



Dengan perlahan, aku berusaha membuka kedua kelopak mataku. Yang kulihat adalah langit gelap dengan bintang yang bertaburan. Kucoba untuk menggerakkan tubuhku, sayangnya kedua tanganku terikat oleh tali begitu juga kakiku. Kutolehkan kepalaku ke samping, kulihat tangan-tangan yang tertancap di tanah, seperti ditanam. Kulihat Ayaka menepuk-nepuk tanah di sekitar tangan yang tertancap di sana. Tangan itu, tangan yang ada di dalam kantong plastik hitam waktu itu.



"Ayaka? Apa yang kau lakukan?" tanyaku dengan suara pelan, namun masih bisa di dengar oleh gadis yang kini berubah menjadi psikopat itu.



Gadis itu menoleh, lalu memperlihatkan seringainya. "Hai, kau sudah bangun, ya? Selamat datang di kebunku, tanaman di sini sudah sangat banyak. Aku baru mengumpulkan dua belas tangan di taman ini."



"Ayaka? Apa yang akan kau lakukan padaku?" tanyaku yang mulai berkeringat dingin.



"Kau akan menjadi tanaman yang ke tiga belas. Jangan khawatir, aku akan merawat potongan tanganmu dengan sangat baik," ucapnya seraya menghampiriku yang terbaring di tanah.



Gadis itu menggoyang-goyangkan pisaunya, sambil membelai lembut rambutku. Aku terus berusaha bergerak, menjauhi gadis itu. Namun sayang, ikatan tali ini terlalu kuat. Pisau itu perlahan mendarat di sikuku, lalu menyayatnya dengan sangat perlahan. Rasa sakit seketika menjalar dari tanganku, akhirnya aku berteriak dengan keras. Darah mengalir dengan derasnya, dan membasahi pakaianku. Tulangku akhirnya terpotong oleh pisau daging gadis itu, dan tanganku ... kini berada di genggamannya.



"Aku akan merawatnya dengan baik," gumam gadis gila itu. Dia berjalan ke daerah yang belum ditanami tanaman, tidak maksudku tangan lalu menancapkan tanganku di sana.



"Bagaimana menurutmu, Hira-chan? Tamanku sangat indah bukan?"



END


Oneshoot And TwoshootWhere stories live. Discover now