27 Januari 2008

3.2K 473 48
                                    

Okay, I get it
Okay, I see
You were fronting because you knew you'd find yourself vulnerable around me

(Kings of Convenience - Mrs. Cold)

***

Oke, seharusnya aku menceritakan ini lebih cepat karena cukup banyak yang terjadi belakangan hari. Aku cukup sibuk. Bukan karena detensi membuatku harus begadang menonton serial-serial televisi yang terpaksa kulewatkan. Bukan juga segala tindakan tentang memberantas malas, tetapi resolusi baruku.

Jawaban problemaku mungkin saja Kino. Entah mengapa hampir semua orang di sekolah memanggil si ketua kelas XI IPA 2 demikian. Namanya sendiri sangat pasaran: Rizki Nugroho. Alasanku (sembarang) merekrutnya simpel saja, sih. Pertama, dia itu supel. Kedua, dia cukup populer tapi tidak termasuk spesies yang menyebalkan. Ketiga, aku hanya punya firasat bahwa dia ... mudah didekati. Bukan tipikal anak gaul yang akan memandangmu remeh ketika kamu menyapanya. Berpikiran terbuka pun tidak menghakimi. Itu impresi pertamaku terhadap Kino, seperti ketika kutemui dia di bangku belakang ruang detensi. Selama ini, aku tidak begitu mengenalnya karena kami jarang berinteraksi di kelas kami: XI IPA 2.

Segalanya dimulai ketika hukuman hari ketiga, ketika guru Bimbingan Konseling memberi kami tugas menulis, 'Saya tidak akan terlambat lagi' sebanyak satu lembar kertas HVS bolak-balik. Khusus untuk murid-murid bandel di tengah kelas, mereka menulis, 'Saya tidak akan merokok di toilet lagi' dan 'Saya tidak akan membolos mata pelajaran lagi.'

Guru BK mulanya mengawasi kami mengerjakan tugas itu selama kurang lebih sepuluh menit di dalam kelas, sebelum akhirnya jam menunjukkan pukul tiga dan dia harus menghadiri suatu rapat di ruang guru. Guru itu lalu menunjuk Kino untuk mengumpulkan tugas setiap murid dan menyerahkan semua lembaran besok pagi kepadanya. Juga, menyuruh kami untuk tidak pulang sebelum waktu detensi selesai −yakni pada pukul empat.

Bisa ditebak, setelah sang guru BK meninggalkan kelas, suasana kembali gaduh dan rusuh. Geng anak urakan bersorak, mereka melempar kertas-kertas mereka dan menggendong tas masing-masing untuk minggat dari kelas detensi. Kino tidak berusaha mencegah, malah ketika si pemimpin geng menyuruhnya untuk tidak mengadu, dia hanya mengangguk patuh. Si murid perempuan yang gemar bercermin itu juga ikut-ikutan kabur.

Sisanya hanya ada aku, Kino, dan tiga siswa laki-laki di dalam kelas.

Kino memunguti kertas-kertas tersebut dari lantai dan tiga murid lain membantunya. Aku hanya memerhatikan dari bangkuku, sembari mengerjakan tugasku yang sudah berjumlah tiga puluh baris. Kemudian, setelah semua kertas bertulisan acak-acakan seperti cakar ayam itu terkumpul dari atas lantai, Kino menyeru kepada sisa penghuni kelas, "Yuk kita ke kantin, tugasnya dikumpulkan besok pagi aja."

Ketiga murid lain kompak setuju. Aku mengernyit heran. Seorang Kino, yang notabene adalah ketua kelas panutan, mencetuskan ide demikian.

Menindaki respon diamku, Kino menghampiri. "Enggak ikut? Kapan lagi bisa mabal detensi, loh."

"Aku mau menunggu sampai jam 4 lalu melaporkan kalian ke Ibu Ani di ruang rapat," kataku. Biasanya aku bukan tipe cepu, sungguh. Namun aku tidak mau dihukum lebih lama dan, mungkin saja bila kulakukan ini, masa detensiku bisa diperpendek.

"Kamu sekelas denganku, 'kan, Remi? Semua tugasnya tetap akan kukumpulkan besok pagi, kok. Ngikut aja, kenapa?"

Tak kusangka Kino mengetahui namaku. Ketua kelasku di kelas sepuluh bahkan tidak hapal-hapal, seringkali salah menyebut namaku sebagai Reni. Namun aku tetap menolak tawaran Kino. "Ogah," pungkasku.

Kino tidak menampilkan raut sebal akibat sikapku, justru tersenyum dalam upaya membujuk. "Kutraktir minum di kantin, deh. Tapi jangan bilang-bilang ke mereka," ujar Kino, seraya ekor matanya melirik tiga murid lain yang sudah menunggu di ambang pintu kelas.

Jujur saja tawaran Kino sangat menggoda. Aku belum pernah ditraktir rekan sejawat di sekolah sebelumnya, oleh Erin pun tidak pernah. Biasanya aku selalu membawa bekal atau jajan sendirian. Mukaku tampaknya kentara sedang menimbang-nimbang karena Kino melanjutkan, "Tambah traktir seblak juga, kalau gitu. Tapi itu batasku. Mendekati akhir bulan nih."

Karena itu, ya, aku melakukan tindakan bodoh. Aku pun mengangguk, memasukkan kertasku ke dalam tas, dan mengikuti Kino.

Kemudian, untuk pertama kalinya dalam hari-hari soliterku di SMA, aku nongkrong sepulang sekolah dan makan bersama di kantin.

Resilience: Remi's Rebellion (Novel - Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang